Skip to content

Melalui Perubahan Terus Menerus

 

Roma 12:2

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Kehidupan Tuhan Yesus dari kelahiran sampai kematian-Nya adalah kehidupan dengan logika terbalik. Allah Yang Maha Tinggi mengutus putra-Nya lahir di kandang binatang. Menyampaikan kebenaran tanpa pedang atau senjata, meraih kemuliaan dengan kehinaan mati di kayu salib. Cara berpikir Tuhan inilah yang harus menjadi cara berpikir orang percaya. Untuk itu, kita harus belajar dengan teliti apa yang diajarkan Tuhan Yesus dan kehidupan yang dikenakan-Nya. Jangan menjadikan Perjanjian Lama menjadi dasar pemikiran hidup Kristen kita. Perjanjian Lama harus menjadi dasar pemikiran awal saja, tetapi bukan episentrum atau pusat pusaran kebenaran. Para pembicara yang memanipulasi Alkitab, khususnya ayat-ayat dalam Perjanjian Lama, keluar dari konteksnya, tidak akan pernah menemukan kebenaran orisinal yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Mereka masih berstandar orang beragama, tidak berdiri atas kebenaran Injil yang murni.

Logika terbalik ini bisa terwujud dalam kehidupan orang percaya melalui perubahan terus-menerus, perubahan yang berkesinambungan tiada henti. Inilah yang dimaksud kata “perubahan” di dalam Roma 12:2, yang berasal dari kata metamorphoo (μεταμορφόω), kata kerjanya metamorphoo. Perubahan ini terjadi dalam pikiran (Yun. anakainosis tou noos νακαίνωσις το νοός). Perubahan tersebut seperti proses perubahan metamorfosis. Jadi, kata metamorfosis pasti diambil dari bahasa Yunani. Perubahan dari telur menjadi ulat kecil, lalu menjadi ulat dewasa, kemudian jadi kepompong, sampai akhirnya menjadi kupu-kupu. Perubahan yang signifikan akan membuat seseorang mengalami penyimpangan pikiran. Penyimpangan pikiran artinya tidak seperti pikiran orang pada umumnya. Penyimpangan pikiran inilah yang dianggap sebagai kebodohan, bahkan dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan normal.

Paulus menyebutkan di dalam 1 Korintus 1:18 dan 23, 1 Korintus 2:14 bahwa pemberitaan salib adalah kebodohan bagi dunia. Salib adalah simbol penderitaan, kesengsaraan, maka seseorang yang mengikut Tuhan Yesus pikul salib: “bodoh.” “Kenapa kamu ikut orang yang disalib? Kenapa kamu menjadi orang yang membuat dirimu sengsara?” Jadi, sampai tingkat tertentu orang yang benar-benar mengerti kebenaran Injil dan mengenakan kebenaran Injil, termasuk di dalamnya memikul salib seperti Paulus pasti dianggap gila oleh orang lain. Paulus itu dianggap gila, sama seperti Tuannya atau Majikannya, yaitu Tuhan Yesus, yang juga dianggap gila oleh orang-orang sezaman-Nya. Sebab apa yang diajarkan adalah logika terbalik. Seperti ayat yang mengatakan, “Serigala punya liang, burung punya sarang, Anak Manusia tidak punya tempat meletakkan kepala-Nya,” bukan hanya tidak wajar, tetapi bertentangan dengan naluri orang. Rata-rata orang mau menyelamatkan nyawa, tetapi ikut Tuhan Yesus malah kehilangan nyawa.

Kalau Injil yang diajarkan belum dianggap sebagai satu kebodohan dan belum dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan normal atau wajar, itu belum kebenaran yang murni. Ajaran seperti ini menjadi ancaman bagi orang yang tidak mau diungsikan ke Kerajaan Allah untuk menjadi anggota keluarga Allah dan ancaman bagi mereka yang hanya mau menjadi orang baik-baik. Dalam hal ini pasti terjadi kompromi-kompromi di mana seseorang masih mau menikmati dunia, tujuan hidup atau telos-nya (τέλος) masih dunia. Akan tetapi kalau kita sungguh-sungguh, maka kita akan mencari kebenaran yang sesuai dengan cita rasa, naluri keilahian. Jadi, kalau pemberitaan Injil masih belum menjadi ancaman bagi kehidupan normal, berarti terjadi kompromi; dimana orang masih mau menikmati dunia dan tujuan hidupnya masih dunia. Padahal Tuhan Yesus sendiri mengatakan, “Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.” Memang sampai tingkat tertentu melalui proses metamorfosis (μεταμορφοσθε; metamorfosthe), orang percaya yang menyerahkan hidupnya bagi Tuhan dan hidup sesuai dengan Injil yang dikenakan oleh Tuhan Yesus—yaitu kehidupan yang dikenakan Tuhan Yesus—akan dianggap paranoid.

Kata ‘paranoid’ terdiri dari 2 kata, yaitu para (Παρά) yang merupakan sebuah preposisi dalam bahasa Yunani yang artinya beside dan noid (Νόια; noia), yang berarti knows, pikiran. Jadi paranoid artinya di samping pikiran atau penyimpangan pikiran. Memang dengan mendengar firman yang murni, kita akan dibawa kepada logika terbalik, akan terjadi paranoid, penyimpangan pikiran. Dalam Psikologi, kata ini memiliki konotasi yang sangat negatif, tetapi dalam kehidupan anak Tuhan justru kebalikan. Orang percaya yang benar, ketika mengenal kebenaran yang murni, maka ia akan menyadari betapa fasik dan jahatnya dunia. Kalau orang tidak mengenal kebenaran murni, dia tidak menyadari keadaan yang sesungguhnya dari dirinya dan keadaan orang di sekitarnya. Ketika Yesaya disentuh Tuhan, dia berkata, “Aku najis!” Dia baru sadar kenajisannya ketika ia membandingkan dirinya dengan kekudusan Allah. Dan dia berkata, “Aku tinggal di tengah-tengah orang yang najis bibirnya.”

Kalau kita tidak mengenal kebenaran murni, kita tidak akan menyadari bagaimana posisi kita di hadapan Tuhan. Namun orang yang mengenal kebenaran yang murni akan menyadari betapa fasik dan jahatnya dunia. Baginya, pengaruh dunia adalah ancaman bagi kemurnian iman kristiani. Reaksinya adalah mulai meninggalkan cara hidup anak-anak dunia yang tidak sesuai dengan kebenaran iman Kristen. Sikapnya terhadap dunia yang mulai resisten akan mudah sekali dilihat oleh orang-orang di sekitarnya.