Skip to content

Melabuhkan Hati

 

Mazmur 91:1

“Orang yang duduk dalam lindungan Yang Maha Tinggi dan bermalam dalam naungan Yang Maha Kuasa akan berkata kepada TUHAN: Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai.”

Hidup harus memilih. Kita tidak bisa tidak memilih. Jika kita tidak memilih, berarti kita memutuskan untuk tidak memilih, berarti pula orang lain atau pihak lain yang memilihkannya untuk kita. Ketika kita masih kanak-kanak, kita memilih mainan apa yang menjadi kesukaan kita, siapa teman-teman kita. Memasuki remaja, kita memilih sekolah lanjutan yang kita harus pilih. Kalau Sekolah Menengah Atas, kita mau masuk Sekolah Menengah Atas di mana? Kalau Sekolah Menengah Kejuruan, kita harus mengambil jurusan apa? Siapa yang menjadi teman-teman dekat kita? Lalu, seseorang juga akan memilih siapa yang menjadi teman paling dekat, yang adalah lawan jenis yang bisa disebut sebagai pacar. Menginjak pemuda, memasuki masa dewasa muda, kita memilih teman hidup. Dan kita melihat kenyataan, makin berumur, pilihan kita makin memiliki risiko tinggi. Kalau hanya memilih mainan, tidak berisiko banyak. 

Memilih teman dekat tentu berisiko, kalau teman dekat masa remaja, kanak-kanak, atau kanak-kanak menjelang remaja sudah bisa mempengaruhi mental, karakter, watak, sifat. Kalau sudah mulai memilih pacar, itu risikonya lebih besar, dan puncaknya ketika harus memilih teman hidup atau jodoh. Tetapi pilihan ini sangat dipengaruhi oleh perjalanan hidup sejak kanak-kanak. Kalau sejak kanak-kanak orang salah memilih pilihan bacaannya, pilihan temannya, pilihan pergaulan, yang akan mewarnai hidup, membentuk mindset, cara berpikir, membangun paradigma, cara berpikir nanti menentukan pilihan yang menyangkut kekekalan. Jadi, betapa pentingnya pendidikan sejak dini, pendidikan anak-anak. Sejak dini, sebenarnya anak manusia sudah mengarahkan nasib kekalnya, kepada siapa atau kepada apa hatinya dilabuhkan, dan itu menentukan nasib kekalnya. 

Hari ini kita melihat kenyataan, sangat sedikit orang yang melabuhkan hatinya pada Tuhan. Banyak orang beragama Kristen, tetapi hatinya belum berlabuh pada Tuhan. Coba kita merenungkan keadaan hidup kita sendiri, apakah kita sungguh-sungguh telah melabuhkan hati kita kepada Tuhan? Berlabuh artinya menghentikan perjalanan. Bicara soal berlabuh, ini biasanya bicara di area pelayaran, kapal atau perahu di lautan. Di tepi lautan luas ada pelabuhan-pelabuhan, tempat perhentian kapal. Banyak manusia yang belum berlabuh pada Tuhan, sekarang masih ada dalam pelayaran atau mungkin berlabuh di pelabuhan yang salah. Kalau hanya salah memilih pasangan hidup, tragis, tetapi belum puncak, bukan klimaks, belum bisa dikatakan fatal. 

Dan dunia ini mendidik manusia untuk meletakkan pelabuhan di pelabuhan yang salah, dengan berbagai kesenangan hidup, cara berpikir yang salah. Apalagi sejak kanak-kanak sudah diwarnai oleh gadget, mereka sudah disemai oleh Iblis, diberi landasan yang salah. Sehingga ketika dia dewasa, dia mencari bentuk yang sama dari template atau landasan yang dia miliki sejak kecil itu. Kita bisa mengerti hari ini betapa sulitnya orang sungguh-sungguh bertobat, sungguh-sungguh mencintai Tuhan, karena hatinya sudah terbagi, cita rasa jiwanya sudah rusak. Sulit, bahkan kalau ada di lingkungan gereja, orang-orang yang mestinya memiliki kualitas rohani yang baik, dia tidak sadar kalau dirinya itu sombong dan gila hormat. Dia tidak sadar kalau dia itu sebenarnya masih ingin popularitas. Dia tidak sadar kalau sebenarnya dia masih duniawi, untuk pekerjaan Tuhan pelit atau perhitungan. Dia belum mematikan keinginan dagingnya. Ini karena salah asuh. 

Dan kalau kesalahan itu terjadi di gereja, karena pendeta atau gereja tidak membawa dia ke puncak. Targetnya tidak puncak. Tetapi kalau seorang membawa dirinya ke puncak, maka khotbah-khotbahnya, hidup yang dikesankan, jelas, dia mau ke puncak. Dia membawa kepada satu pelabuhan saja, yaitu Tuhan. “Tuhan tujuanku, Tuhan kebahagiaanku, Tuhan kesenanganku, Tuhan kehormatanku, Tuhan kemuliaanku.” Maka mestinya gereja dan pelayanan membawa jemaat itu ke puncak. Tidak memberi ruangan dunia membahagiakan, sebab dunia bukan rumah kita. Kita tidak boleh berbuat dosa lagi, sekecil apa pun, sehalus apa pun. Kita tidak boleh punya kesenangan dunia, hobi, atau apa pun namanya, sebab kesenangan kita hanya Tuhan. 

Kalau tidak sampai di sini, maka kita tidak bisa melabuhkan hati di surga. Tidak mungkin kita bisa merindukan Tuhan. Gereja, pelayanan juga tidak menjadi kebahagiaan kita. Kebahagiaan kita hanya Tuhan pribadi. Karena Tuhan kebahagiaan kita, maka kita ada dalam pelayanan ini, maka kita merindukan jiwa-jiwa. Sebab jiwa-jiwa yang diselamatkan itu membahagiakan, menyenangkan Tuhan. Baru kita melabuhkan hati kita kepada Tuhan. Dia satu-satunya gunung batu pertolongan dan satu-satunya kubu pertahanan kita.