Skip to content

Mediokritas

 

Jika kita berkata, “Aku mau menjadi umat Allah, aku mau menyambut kehadiran-Nya dalam hidupku, seperti doa Bapa Kami: datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga,” maka biarlah itu benar-benar terjadi. Tetapi jika kita tidak jelas ke arah mana hidup kita diarahkan, Tuhan pun tidak akan menghalangi. Sebagai orang percaya yang sudah dewasa, kita sebenarnya tahu apa yang harus kita pilih: Tuhan harus menjadi segalanya. Hidup suci, berkemas-kemas menuju surga, hidup hanya untuk menyenangkan Tuhan, dan melayani Dia. Hidup di dunia hanyalah sementara, sementara kehidupan sejati adalah di kekekalan. Kita sudah tahu semua itu, tetapi sering masih gamang, tidak berani mengambil keputusan yang kokoh.

Sikap hidup setengah hati ini menjadikan kita mangsa empuk kuasa kegelapan. Karena kita tidak menggunakan kedaulatan dengan benar, kita hidup dalam kondisi mediokritas—keadaan setengah-setengah. Mediokritas adalah lahan subur bagi Iblis untuk bermanuver agar kita tidak fokus kepada Tuhan. Pikiran kita mudah didistraksi, waktu kita habis untuk hal-hal yang tidak perlu, dan akhirnya kuasa rohani kita melemah. Cengkeraman hadirat Allah menjadi tipis, wibawa ilahi menghilang.

Banyak hal yang kita lakukan memang bukan dosa dalam pengertian umum, bukan pula sesuatu yang jahat atau buruk. Namun hal-hal itu tetap dapat mengurangi “tenaga rohani” kita untuk membumbung tinggi mencapai hadirat Tuhan. Karena itu firman Tuhan berkata: “Keluarlah kamu dari antara mereka …” Artinya, bukan hanya keluar dari persahabatan dengan orang-orang yang tidak takut akan Allah, melainkan juga meninggalkan cara hidup yang tidak membangun kita sebagai anak-anak Allah yang unggul.

Untuk menjadi pemain bola yang baik, seseorang harus masuk pelatihan dengan jadwal ketat, bahkan rela meninggalkan keluarga. Demikian pula, untuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah jauh lebih berat. Tidak bisa sembarangan hidup dengan prinsip “mengalir saja.” Kita harus memetakan perjalanan hidup kita, agar peta itu menjadi peta perjalanan anak-anak Allah yang dipersiapkan sebagai penghuni Rumah Bapa.

Firman Tuhan berkata: “… dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” Yang dimaksud “mereka” bisa berupa oknum manusia, bisa juga pola hidup atau gaya hidup yang salah. Gereja memang tidak dapat memberi tuntunan detail, sebab keberadaan setiap orang berbeda. Namun Roh Kudus akan menolong kita. Hidup memang rumit. Tetapi kita harus mengambil keputusan untuk mengikuti apa yang Tuhan ajarkan: “Keluarlah kamu dari antara mereka dan pisahkanlah dirimu dari mereka, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” Karena itu, betapa seriusnya kita harus mencari Tuhan, sampai memiliki kepekaan untuk mengerti apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna.

Pertanyaannya: seberapa serius kita melangkah memisahkan diri dari cara hidup anak-anak dunia? Sebab kewajaran hidup—yang terlihat normal—sebenarnya berbahaya. Itu ancaman yang sering tidak disadari oleh umat Allah. Kita tidak boleh hanya hidup “wajar.” Kita harus memiliki keunggulan, dan keunggulan itu dibangun mulai sekarang, di bumi, sampai akhirnya kita layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Sayangnya, banyak mimbar mengajarkan seolah-olah menjadi anak Allah itu mudah: asal percaya Yesus Tuhan dan Juru Selamat, maka otomatis menjadi anak Allah. Itu tidak sepenuhnya salah, tetapi sampai kapan kita terus berada dalam keadaan tidak layak di hadapan-Nya? Jika kesempatan yang Tuhan berikan terus disia-siakan, maka pada waktunya kita tidak akan diakui sebagai umat-Nya.