Untuk membuktikan dan mengalami bahwa Allah itu hidup, terus terang bukan sesuatu yang mudah, sebab kenyataannya tidak semua orang beragama benar-benar membuktikan dan mengalami Allah yang hidup. Bahkan rohaniwan, dan teolog-teolog hebat pun belum tentu sudah mengalami Tuhan. Dari ucapan atau tulisan seseorang, kita bisa rasakan apakah dia benar-benar mengalami Tuhan atau tidak. Kita harus mencapai titik memiliki pengalaman pribadi dengan Allah. Tentu pengalaman tersebut sangat pribadi, tidak bisa diungkapkan kepada orang lain dan memang biasanya tidak boleh diumbar. Tetapi individu itu akan merasakan secara riil kehadiran Allah di dalam hidupnya. Ada momentum-momentum yang Tuhan izinkan kita alami untuk menggapai Allah. Ketika kita berada di dalam kesesakan, di dalam kepicikan—artinya di dalam masa-masa sempit, masa-masa yang sangat sulit; kepicikan bukan dalam arti picik dalam berpikir, tetapi masa-masa yang sangat sulit. Jadi kata “kepicikan” juga bisa memiliki konotasi bukan saja kebodohan, tetapi juga masa-masa yang sulit dalam kesempitan—kita meratap kepada Tuhan. dan itu momentum yang sebenarnya sangat berharga.
Kita memiliki saat-saat seperti itu. Kita menjerit, “Aduh. Tuhan, ini sangat membahayakan aku.” Atau “ini sangat memalukan diriku,” atau “Aduh, Tuhan, ini pedih sekali.” Saat-saat seperti itu, kita seperti ditarik ke atas, terbang seperti burung. Seperti rajawali mengobrak-abrik sarangnya ,sehingga anak-anak rajawali lari ke sana ke mari, kocar-kacir. Dan akhirnya, di antaranya jatuh dari ketinggian karena memang sarang rajawali itu ditaruh di atas gunung tinggi dan bisa jatuh. Rajawali-rajawali kecil itu berjatuhan, tetapi dengan berjatuhan itu, mereka dilatih induknya untuk menggunakan sayapnya. Mereka mencoba menggunakan sayapnya untuk terbang. Ketika itu, anak-anak rajawali tersebut mulai bisa terbang walaupun tidak kuat. Dan kalau jatuh, induknya kemudian menukik, menangkap anaknya itu, lalu dibuang kembali ke atas, sampai anak rajawali tersebut bisa terbang.
Masa-masa kepicikan seperti itu menjadi momentum yang berharga untuk kita berusaha mencari wajah Tuhan. Kita berusaha menggenggam tangan Tuhan. Kita berusaha mengetuk pintu-Nya untuk dibukakan, dan memberikan apa yang kita butuhkan. Dari hal itu, Tuhan memperkenalkan Diri-Nya kepada kita secara individu. Yang nanti akhirnya, Tuhan akan menuntun kita supaya kita tidak mempersoalkan perkara-perkara fana. Pasti kemudian yang Allah kehendaki kita berkeadaan tidak bercela. Kita mau dituntun ke langit baru bumi baru karena tidak ada kehidupan yang Allah sediakan sempurna, kecuali di langit baru bumi baru. Maka, jangan membuat Firdaus di bumi. Allah mendidik kita untuk mengabdi dan melayani Dia dalam segala hal yang kita lakukan. Karena hanya orang yang melayani Tuhan melalui segala hal yang dilakukan, akan berkelanjutan di kekekalan.
Akhirnya, ratapan kita nanti akan berlanjut bukan hanya temporal atau sesaat, tetapi bisa berkepanjangan. Tetapi tidak lagi mempersoalkan masalah utang-piutang, anak sakit, atau bahaya yang lain, tetapi kita akan berusaha menemukan wajah Tuhan. Kita berusaha untuk melihat pintu langit yang terbuka kita ketuk, kita berusaha menggenggam tangan Tuhan untuk satu hal, bagaimana kita didapati sebagai anak yang berkenan di hadapan Allah. Kita terus berusaha untuk menemukan kehidupan seperti ini; yang hanya bisa terwujud kalau Allah menolong kita. Kalau masalah keuangan, masalah sakit, atau masalah fana lainnya, setan pun bisa menawarkan pertolongan melalui antek-anteknya. Tetapi kalau hidup yang berkenan, hidup kudus tidak bercela, hanya Allah yang bisa melakukannya.
Jadi, ketika Allah memancing kita dengan persoalan-persoalan fana supaya kita datang mendekat kepada-Nya, gunakan momentum itu. Dia mau supaya kita mengerti apa yang berharga dalam hidup ini. Sejatinya, hal yang paling berharga dalam hidup ini ternyata adalah harta surgawi; yaitu kehidupan kita yang berkenan dan kelayakan kita menjadi anggota keluarga Kerajaan. Ratapan itu terus kita naikkan. Ratapan kita itu kerinduan untuk bisa menyenangkan hati Allah. Inilah yang dimaksudkan dalam Injil Matius 5:6, “Berbahagialah orang yang haus dan lapar akan kebenaran, sebab mereka akan dipuaskan.” Kalau kita benar-benar memiliki kehausan seperti ini, betapa luar biasa. Kehidupan kita menjadi benar-benar indah dan berharga. Dari kehausan, dari kelaparan untuk hal-hal fana akan dunia, berubah menjadi kehausan dan kelaparan akan hal-hal rohani. Di situlah kita masuk dalam kedalaman hati Tuhan. Sebab yang menjadi pergumulan kita adalah bagaimana kita menyenangkan Allah.
Kita ibarat seorang penambang yang masuk lorong bawah tanah, terus masuk lorong bawah tanah untuk mendapatkan emas tua yang berharga. Kita terus masuk lorong hati Tuhan untuk menemukan hati-Nya, perkenanan-Nya. Betapa bahagianya kita kalau suatu hari kita menutup mata, kita bertemu dengan Tuhan berada di dekat takhta Allah. Allah melihat kita yang sejak hidup di dunia mencari wajah-Nya dengan sungguh-sungguh. Tuhan tahu kita betul-betul merindukan Dia. Orang-orang yang merindukan Dia seperti ini, akan ditemui oleh Tuhan. Tetapi orang yang tidak merindukan Dia adalah orang-orang yang tidak menghormati Tuhan. Mereka telah menyia-nyiakan kesempatan berharga dengan berfokus pada masalah jasmani ketimbang masalah kekekalan.
Masa kepicikan dalam hidup menjadi momentum yang berharga untuk kita berusaha mencari wajah Tuhan.