Skip to content

Martabat yang Agung

 

Orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus Kristus harus melakukan apa yang dikehendaki dan diingini oleh-Nya. Kita tidak bisa berkata percaya kepada seseorang tanpa memiliki relasi atau hubungan dengan orang tersebut. Di dalam kepercayaan pasti ada isi yang menunjukkan atau membuktikan kepercayaan itu sendiri. Kita semua percaya Prabowo adalah Presiden, tetapi itu hanya berarti memercayai statusnya. Kita tidak memiliki relasi dengan beliau secara pribadi, maka itu tidak bisa disebut percaya dengan benar. Sebaliknya, bila kita percaya kepada Tuhan Yesus, harus ada hubungan timbal balik, interaksi yang nyata. Kita harus mengerti apa yang Dia inginkan dan sungguh-sungguh melakukan apa pun yang Dia kehendaki atas hidup kita.

Abraham disebut sebagai bapak orang beriman karena ia tidak hanya mengisi imannya dengan aktivitas pikiran atau pengakuan mulut, tetapi dengan tindakan konkret. Hidup Abraham disita untuk mengikuti dan menuruti apa pun yang Tuhan, Elohim Yahwe, kehendaki. Kalau kita jujur melihat diri sendiri, seberapa jauh kita memiliki hubungan yang nyata dengan Tuhan? Apakah ada interaksi konkret dengan Dia? Apakah kita benar-benar mengerti kehendak Tuhan untuk kita lakukan?

Kita memiliki dua bagian Kitab Suci: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Keduanya harus kita penuhi. Secara hukum yang termuat dalam Dekalog (Sepuluh Perintah Allah), kita harus bisa melaksanakannya. Ini hukum moral dan etika umum. Namun di Perjanjian Baru, kita dipanggil untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Artinya, kita harus mengerti kehendak Tuhan secara spesifik dalam hidup kita—secara pribadi, khusus, dan unik—karena keadaan setiap orang tidak sama. Setiap individu harus memperkarakan keadaan hidupnya secara konkret dan aktual dengan Tuhan setiap saat.

Faktanya, banyak orang Kristen secara hukum moral saja belum benar. Orang seperti ini, jangankan menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga, menjadi anggota masyarakat pun tidak layak. Untuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga, seseorang harus berkodrat ilahi, memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Dengan demikian, segala sesuatu yang kita lakukan sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

Ini memang benar-benar sulit, tetapi inilah martabat yang paling agung dalam hidup manusia. Tidak ada martabat yang lebih tinggi daripada kehidupan seorang yang melakukan kehendak Allah. Karena itu, kita harus belajar apa yang diajarkan Tuhan Yesus. Tahukah Saudara, apa yang Yesus ajarkan itu luar biasa, dahsyat, agung, dan mulia? Ajaran-Nya berbeda dengan ajaran agama-agama pada umumnya.

Keluarga memang adalah tanggung jawab. Orang yang melalaikan keluarga adalah orang yang tidak bertanggung jawab, dan termasuk orang yang tidak mengenal Allah. Siapa yang menelantarkan keluarga pasti masuk neraka. Kita wajib bertanggung jawab atas keluarga, tetapi jangan sampai mengurangi bagian yang harus dipenuhi setiap individu terhadap Tuhan. Keluarga harus kita jaga, namun ada bagian untuk Tuhan yang juga harus kita penuhi. Kelak setiap orang akan berhadapan dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkannya.

Setelah kita menjadi orang percaya, kita pun memiliki keluarga lain yang harus diperhatikan, yaitu keluarga yang abadi. Faktanya, tidak sedikit orang percaya yang sudah putus hubungan dengan saudara kandungnya—entah karena masalah warisan, pertengkaran, perbedaan prinsip, atau bahkan kelihatannya baik-baik saja, tetapi tetap tidak bertobat, tidak melakukan kehendak Bapa.

Hanya mereka yang melakukan kehendak Bapalah yang disebut sebagai saudara. Tuhan Yesus berkata dalam Matius 25:40, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”