Skip to content

Manusia Standar Allah

 

Pasti semua kita merasa sudah menjadi manusia. Maka, tidak sedikit orang yang marah atau tersinggung kalau ada kata-kata yang tidak patut ditujukan kepada dirinya, yang itu berindikasi atau bermaksud merendahkan martabat kemanusiaannya. Tetapi pernahkah kita berpikir, apakah kita benar-benar sudah jadi manusia sesuai standar Sang Pencipta? Tuhan pasti punya Standard Operation Procedure (SOP) untuk pelaksanaan, penyelenggaraan hidup. Sebab hidup kita masing-masing ini seperti sebuah company dengan segala kegiatannya. Untuk itu gereja harus memberikan penyuluhan, pembinaan, mentoring supaya jemaat mengerti bagaimana menjadi manusia sesuai dengan standar Sang Pencipta. 

Keselamatan dalam Yesus Kristus bermaksud demikian. Itulah sebabnya Yesus menjadi manusia yang dalam segala hal disamakan dengan kita, supaya kita dapat mencontoh bagaimana model manusia dengan standar-Nya. Tuhan adalah Seniman Agung dan manusia juga memiliki unsur-unsur seni atau estetik sesuai dengan bidangnya. Ada seni lukis, ukir, musik, dan lainnya. Bukan hanya orang lain yang mengagumi karyanya, namun dirinya sendiri juga sering merasa puas. Bukankah Allah juga begitu? Ketika Ayub disanjung oleh Allah di dalam Ayub 1:7-8, “Maka bertanyalah TUHAN kepada Iblis: “Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi.” Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Allah membanggakan Ayub.

Di Matius 3:7, Allah membanggakan Anak-Nya, “Ini Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.” Tuhan mau kita menjadi manusia sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia itu, dengan standar Allah, sehingga Allah disukakan. Pasti Bapa di surga tidak hanya ingin memuji seorang yang bernama Yesus, tetapi Bapa juga ingin menemukan orang-orang yang membanggakan hati-Nya, dan Bapa juga bisa berkata: “Ini anak-Ku yang Kukasihi. Dia menyenangkan Aku.” Dan kita harus selalu ingat bahwa kita ini bukan hidup gratis. Tuhan menciptakan kita dengan maksud dan tujuan supaya kita menyenangkan Dia. Kita tidak kebetulan jadi manusia, tapi karena Allah yang menghendaki. 

Dan Allah tidak menuntut apa yang tidak bisa kita penuhi. Jahat kalau Allah menuntut apa yang tidak kita bisa penuhi. Lalu setelah kita tidak bisa memenuhi apa yang Allah kehendaki, Allah membuang kita ke neraka. Maka, sadarilah bahwa kita bukanlah makhluk yang diciptakan tanpa tujuan. Ada reason, ada purpose, ada divine purpose; ada maksud ilahi. Entah pria atau wanita, dari suku apa saja, apa pun keadaan kita, terlahir dalam kondisi miskin atau kaya, berpendidikan tinggi atau rendah, apa pun dan bagaimanapun keadaan kita, Tuhan bisa menjadikan kita manusia yang menyenangkan Dia. Maka yang harus kita persoalkan, “Apakah saya sudah menjadi manusia sesuai dengan kehendak Allah?” 

Kalau sedikit tersinggung, kita marah, sakit hati, lalu berusaha menghancurkan orang tersebut. Ini belum jadi manusia. Dan jujur, kita masih punya karakteristik itu. Kalau kita sadar itu, kita merasa sebagai orang sakit, maka kita datang dan mencari gereja yang bisa mengubah hidup kita, meningkatkan kualifikasi kemanusiaan kita. Jadi kita sekarang harus sadar bahwa yang masuk surga itu manusia dengan standar Allah. Dan sebelum meninggal dunia, sejak di dunia ini pun kita mesti sudah punya gejala dari orang-orang yang memang layak masuk surga; yaitu memenuhi SOP. 

Maka Tuhan Yesus berkata, “Bukan orang yang berseru kepadaku ‘Tuhan, Tuhan’ yang masuk surga, tapi orang yang melakukan kehendak Allah.” Melakukan kehendak Allah itu bukan hanya tidak melanggar hukum, tetapi setiap langkah hidup kita itu menyenangkan Tuhan, dari menit ke menit, dari jam ke jam. Dan itu yang disebut kesucian. Kesucian itu bukan sesuatu yang abstrak, yang mistis, namun sangat teknis dan natural. Jadi, kita harus hidup suci. Dan yang mengubah kita itu media hidup yang kita masuki atau dinamika hidup yang kita alami. Karena pengalaman yang Allah sediakan, itu memanusiakan kita. 

Sementara kita digilas, karakter kita dibentuk. Dan Tuhan itu luar biasa, Ia adalah Arsitek Agung yang tahu bagaimana membentuk kita. Kalau kita menurut, maka kita akan terus dibentuk menjadi manusia seperti yang Allah kehendaki dan menyenangkan hati-Nya. Jadi, mari kita periksa diri kita. Perlakuan kita terhadap orang lain menunjukkan apakah kita manusia atau bukan. Apa yang orang lain rasakan dari perilaku kita bisa membuktikan kita manusia atau tidak. Orang yang sudah menjadi manusia sesuai standar Allah, pasti memanusiakan orang lain. Ia akan berbelas kasihan terhadap orang lain.