Disebut sebagai manusia pilihan memang memberi kesan bahwa Tuhan, dalam kedaulatan-Nya, memilih manusia. Namun, kita harus memahami makna kata “pilihan” itu dengan benar. Kita tidak boleh hanya melihat dari satu sisi—yaitu Allah yang memilih—melainkan juga dari sisi manusia yang dipilih. Sebab dalam kenyataannya, nasib manusia juga ditentukan oleh keputusan dan pilihannya sendiri. Adam terusir dari Taman Eden bukan karena Tuhan yang menetapkan demikian, melainkan karena Adam sendiri yang memilih melanggar perintah Allah. Ia harus menanggung akibat dari pilihannya sendiri.
Akan tampak sangat jahat jika kita beranggapan bahwa Tuhan menciptakan skenario kejatuhan manusia lalu mengusirnya dari taman yang Ia buat sendiri. Kisah yang tercatat dalam Kejadian pasal 1–3 dengan jelas menunjukkan hukum kehidupan ini: manusia adalah makhluk yang diberi kehendak bebas untuk menentukan nasibnya. Apa yang ditabur manusia, itulah yang dituainya. Di sinilah kita berhadapan dengan misteri kehidupan yang tidak mudah dipecahkan. Namun, fakta Alkitabiah menunjukkan bahwa manusia bukan makhluk yang sepenuhnya dikendalikan Allah.
Ada bagian dalam diri manusia yang membuatnya harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, dan bagian inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Ia bukan sekadar makhluk yang hanyut mengikuti arus kehidupan tanpa arah. Pandangan yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa menghindar dari nasib yang sudah ditentukan baginya adalah pandangan yang keliru. Menjadi umat pilihan pada akhirnya sangat ditentukan oleh pilihan, keputusan, dan tindakan konkret masing-masing individu. Karena itu, setiap orang harus memiliki langkah nyata untuk sungguh-sungguh menjadi umat pilihan Allah.
Dalam hal ini, yang sering membuat manusia gagal adalah sikap pasif. Banyak orang terjebak oleh konsep yang salah, seolah-olah keselamatan atau status sebagai umat pilihan semata-mata ditentukan oleh dekrit Tuhan yang mutlak. Pemahaman seperti ini berbahaya, karena menjadikan manusia pasif dan tidak memiliki tanggung jawab rohani. Di sisi lain, manusia juga sering dikuasai oleh keinginan-keinginan yang tidak mengarah pada keselamatan. Pikiran semacam ini bukan berasal dari Allah, melainkan dari Iblis. Walaupun keinginan itu tidak melanggar hukum secara harfiah atau tidak merugikan sesama, jika tidak sejalan dengan rencana Allah untuk mengembalikan manusia kepada rancangan semula, maka hal itu tetap menjadi batu sandungan.
Akibatnya, manusia hidup dalam kesalahan konsep dan keinginan yang keliru, lalu terjebak dalam pasivitas rohani. Kalaupun aktif dalam kegiatan gereja, banyak yang tidak memiliki langkah nyata menuju perubahan hidup. Mereka menjadi orang baik yang ceroboh, orang saleh yang tidak militan, dan orang yang tidak berani membayar harga pengiringan yang sejati. Banyak orang merasa telah “membayar harga” dengan menghadiri ibadah dan terlibat dalam pelayanan, padahal mereka belum tentu melakukan kehendak Tuhan secara penuh karena mereka sendiri yang menetapkan batas harga pengiringan itu, bukan sesuai ukuran yang Tuhan tetapkan.
Akhirnya, mereka menjalani hidup dengan sesuka hati. Dari luar tampak seperti orang benar, sopan, dan beradab, tetapi di hadapan Tuhan mereka belum tentu berkenan. Orang-orang semacam ini tidak akan pernah menjadi manusia istimewa di hadapan Allah. Sebab menjadi umat pilihan berarti menjadi pribadi yang istimewa—bukan karena posisi atau pengetahuan, tetapi karena ketaatan dan kesediaan membayar harga. Kecerobohan dan ketidakseriusan dalam menanggapi panggilan Allah membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk menjadi umat pilihan yang sejati.
Di sisi lain, ada pandangan lain yang juga keliru, yaitu bahwa manusia ditempatkan Tuhan pada posisi di mana ia tidak bisa menolak kebaikan Allah. Jika demikian, berarti manusia juga tidak bisa menolak hukuman Allah. Pandangan ini berbahaya, karena dapat menimbulkan kemarahan dan sikap menyalahkan Tuhan. Orang bisa berkata, “Mengapa Tuhan menciptakan manusia untuk dibinasakan dan disiksa dalam hukuman kekal?” Konsep seperti ini tidak benar, sebab Tuhan tidak menetapkan manusia untuk binasa, melainkan memberikan kehendak bebas agar manusia dapat memilih untuk taat dan hidup dalam rancangan-Nya. Allah tidak menakdirkan sebagian manusia untuk dihukum, tetapi memberikan kesempatan kepada semua untuk bertobat dan hidup menurut kehendak-Nya.