Skip to content

Lewat Perjalanan Hidup

 

Apa pun yang masuk di dalam jiwa dan pikiran kita, mestinya atas izin Tuhan. Jadi, kalau di dalam ruang jiwa kita ada sesuatu, Tuhan yang memasukkan hal tersebut, bukan kita. Makanya, kalau mau menjadi Kristen yang berkenan, kita jangan punya keinginan apa pun. Kita mungkin berkata, “Bagaimana bisa?” Bisa, firman Tuhan pun berkata, “Baik kau makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah.” Itu jelas artinya bahwa semua yang kita lakukan bukan untuk kesenangan diri kita sendiri. Dulu kita berkata tidak bisa, dan juga kita tidak mau, walaupun tahu ayat itu. Tapi sekarang kita bisa mengerti betapa luar biasa kesempatan hidup ini, berurusan dengan Allah semesta alam yang menciptakan langit dan bumi, dan kita bisa mengerti kehendak-Nya. Sungguh, itu luar biasa! 

Tapi ironis, banyak orang sudah biasa tidak menghormati Tuhan, mereka merasa punya hak atas hidupnya, suka-suka sendiri. Apalagi sebagai hamba Tuhan, yang boleh masuk di dalam pikiran dan jiwa kita itu hanya hal-hal yang Tuhan mau masukkan. Kalau kita memasukkan semua yang Allah kehendaki untuk dimasukkan, maka ketika kita khotbah di mimbar, itu Tuhan yang bicara; Tuhan yang berdiri di mimbar. Tapi kalau kita memasukkan banyak hal yang sembarangan, kotor, maka ucapan kita pun kotor, banyak distorsi. Dan sejujurnya, sering perasaan atau pikiran kita yang bermain. Karena perasaan dan pikiran kita memang biasa dipermainkan oleh apa yang kita lihat dan dengar. Padahal Tuhan tidak ikut merasakan. Kalau anak-anak muda bisa menjalani hidup seperti ini, maka kalian akan menjadi hamba Tuhan yang luar biasa dan pasti dilindungi Tuhan. 

Masalahnya, karena kita tidak diisi Roh Kudus, kita diisi yang lain, kita jadi tidak peka. Maka kalau doa itu kita merem, kita terbang tinggi. Kita harus berdoa dengan tulus, apa adanya. Kalau kita sedang marah, katakan, “Aku marah, Tuhan. Aku kecewa, tapi aku tahu ini salah. Tuhan, aku khawatir, aku takut kalau keadaan menjadi begini. Tapi aku belajar percaya.” Kebersamaan dengan Tuhan itu seperti Musa di Gunung Sinai. Waktu Musa turun, wajahnya bercahaya. Kenapa kita tidak punya wajah bercahaya? Hati kita kusam, muka kita kusam, tidak memancarkan hadirat Allah. Jawabnya adalah karena kita tidak atau belum serius dengan Tuhan. 

Kita mau serius berurusan dengan Tuhan. Jadi dalam perjalanan hidup, kita bisa berjalan dengan Tuhan itu luar biasa. Kita harus mencari Tuhan gila-gilaan. Apa yang tidak perlu dilakukan, jangan dilakukan. Pertemanan dengan orang yang merusak spirit kita, jangan dilanjutkan. Say hello, no more. Kita harus memetakan hari hidup kita. Kita harus memiliki perjuangan mencari Tuhan sampai ketemu. Tuhan itulah harta kita. Bagaimana memiliki Tuhan sebagai harta, yaitu ketika kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam setiap peristiwa hidup. Jadi kalau kita berkata, “Engkaulah hartaku,” apakah otomatis Tuhan menjadi harta kita? Belum. Tuhan menjadi harta kita ketika kita melibatkan Tuhan dalam kebersamaan dengan Dia pada waktu berdoa, bekerja, di perjalanan, dalam semua kegiatan. Di situ kebersamaan yang membuat kita menemukan Allah bagi kita. 

Pengetahuan teologi secara umum bisa dimiliki oleh setiap orang, bisa dipelajari. Tetapi setiap individu harus menemukan wajah Tuhan. Itu adalah keintiman istimewa. Apakah kita sudah menemukan? Itu masalahnya, keintiman istimewa tersebut harus kita temukan lewat perjalanan hidup. Medianya adalah pengalaman hidup, peristiwa demi peristiwa, kejadian demi kejadian. Di situlah kita menemukan teologi pribadi mengenai Tuhan atau menemukan wajah-Nya. Maka setiap kita boleh atau bisa memiliki personality atau kepribadian yang berbeda-beda. Tapi ajaibnya, pasti memiliki sifat dasar Allah, yaitu kasih. 

Jadi tidak ada orang bisa berkata, “Bagaimana saya bisa punya kasih?” Karena kita bisa menemukan Tuhan dalam perjalanan hidup, di mana kasih Allah dimanifestasikan, diwujudkan dalam profesi kegiatan hidup kita masing-masing. Dan di situlah masing-masing orang berperan melayani Tuhan. Tuhan punya kekayaan yang tidak terbatas yang ada pada setiap individu, pengalaman yang tak ternilai dengan dinamika hidup masing-masing yang khusus, yang unik. 

Seseorang menyerap sifat-sifat Tuhan tidak cukup dengan belajar teologi atau membaca Alkitab saja, tetapi lewat perjalanan hidup. Semua kejadian merupakan media di mana Tuhan mengajarkan sifat-sifat dan karakter-Nya kepada kita, sehingga setiap orang yang memiliki kepribadian khusus bisa menyerap sifat-sifat Tuhan yang harus digelar di dalam hidupnya. Apa pun kepribadian seseorang, kasih Tuhan harus menjadi landasan segala sesuatu yang dilakukan, diucapkan, dan dipikirkan. Maka kita harus gila-gilaan mencari Tuhan. Tuhan harus menjadi satu-satunya dunia kita.