Dunia ini sudah begitu jahat. Standar yang mestinya dimiliki orang percaya telah bergeser. Apa yang ditampilkan oleh sebagian rohaniwan dan pendeta bukanlah standar yang benar, sehingga jemaat tidak memiliki standar yang seharusnya dimiliki. Firman Tuhan mengingatkan kita dalam Ibrani 12:16, “Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan.” Sepiring makanan itu bisa berupa tontonan, hiburan, pangkat, gelar, kedudukan, atau apa pun yang kita pandang akan membahagiakan hidup, yang memberi nilai diri, yang mengangkat harkat, martabat, derajat kita. Padahal, yang kita perlukan hanya satu: Tuhan. Tanpa Tuhan, kita tidak bernilai sama sekali.
Jadi, kalau sekarang kita ada dalam kondisi yang membahayakan, sadari itu. Gusarlah atas keadaan diri kita, perkarakan dengan Tuhan dan minta tolong penyelesaian dari Tuhan dan Roh Kudus pasti akan menolong. Yang berkhianat kepada Tuhan itu bukan hanya mereka yang meninggalkan gereja lalu pindah agama lain, melainkan ketika kita mencintai dunia, sehingga kita menjadikan diri kita sebagai musuh Allah. Seperti yang dikatakan dalam Yakobus 4:4, “Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi, barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.”
Hari ini, kalau Tuhan percayakan kepada kita jabatan, kedudukan, gelar, uang, dan kemungkinan-kemungkinan untuk kita menikmati hidup, sejatinya kita harus sadar bahwa kesempatan yang Tuhan berikan itu singkat. Maka, kita memilih untuk menyenangkan hati Tuhan. Kita harus memaksa diri kita untuk memilih Tuhan sampai akhirnya memilih Tuhan tidak lagi menjadi paksaan, melainkan menjadi kesukaan dan kebahagiaan. Kita harus bisa bersekutu dengan Tuhan dan benar-benar mengalami bahwa Tuhan adalah Pribadi yang bisa kita nikmati, yang membahagiakan kita. Ironis, kita banyak yang sudah ketinggalan. Mestinya dengan usia kita seperti ini, kita mesti sudah tenggelam di hadirat Allah, menjadikan Tuhan pelabuhan dan perhentian hidup kita satu-satunya. Tapi dengan usia yang sudah mulai senja, kita masih bermimpi memiliki ini itu, pergi ke tempat sana sini, lalu merasa bahagia dengan hal tersebut.
Mungkin tanpa sadar, bertahun-tahun kita mendengar pendeta berkhotbah untuk membagikan apa yang dia tahu kepada kita, yang dia tahu dari sekolah teologi, yang ilmunya bisa dipadatkan dalam beberapa tahun. Pikiran diisi oleh pengetahuan dan bisa dipadatkan, tapi perasaan diisi dengan pengalaman dan tidak bisa dipadatkan. Maka kita perlu pendeta yang punya perjalanan dengan Tuhan, yang punya perasaan yang diisi oleh perjumpaan dengan Allah. Yang ketika mengatakan, “Aku mengasihi Engkau, Tuhan,” hatinya mengalir pecah tanpa dibuat-buat, karena itu akan terimpartasi, tertular kepada kita. Pengetahuan tentang Tuhan bisa dipadatkan di pikiran, tapi perasaan mengasihi dan mengalami Allah, harus lewat pengalaman.
Jangan kehilangan momentum ini. Setiap hari ada paket-paket berkat yang Allah sediakan, baik lewat peristiwa kehidupan maupun perjumpaan langsung dengan Tuhan. Paket-paket yang tidak bisa kita tunda, sebab berkat hari ini beda dengan berkat besok. Tidak bisa kita gabung, atau kita padatkan, tidak bisa. Setiap hari kalau kita menyediakan waktu dan Tuhan melihat kita serius, pasti ada berkat yang Tuhan sediakan. Kalau kita bergaul dengan dunia, maka cinta kita tertuju ke dunia, telanjur terikat dengan dunia, sehingga kita jadi mempelai dunia sampai tidak bisa dipisahkan. Namun kalau hati kita melekat kepada Tuhan, kita mencintai Tuhan, maka kita menjadi mempelai Tuhan.
Mungkin ada di antara kita yang merasa ada tembok-tembok besar yang sukar tembus yang membuat kita tidak bisa mencintai Tuhan. Hal itu karena ruangan hati kita dipenuhi oleh dunia yang membuat kita tidak bisa mencintai Tuhan. Dan kita perlu melepaskan itu, tahap demi tahap, sebab tidak dalam satu malam kita berdoa, lalu bisa mencintai Tuhan. Dan sampai titik tertentu, kita tidak bisa menarik cinta kita kepada Tuhan. Sebaliknya, kita tidak akan pernah bisa mencintai dunia lagi. Yudas pada akhirnya sadar dia salah. Dia datang kepada imam-imam kepala dan menyerahkan 30 keping perak, dan dia mengatakan, “Aku telah menyerahkan darah orang yang tidak bersalah.”
Tapi, dia sudah tidak bisa bertobat. Hatinya sudah keras, tidak mampu mencintai Tuhan. Dia sudah mencintai dunia dan dia gagal mencintai Tuhan. Kekecewaannya diwujudkan dalam bentuk bunuh diri. Berbeda dengan Petrus. Dia menyangkal. Dia tidak menghormati Tuhan. Tapi, kokok ayam cukup membuat dia menangis karena dia mengasihi Tuhan. Maka bersyukur kalau Tuhan mengizinkan masalah ada di hidup kita, hal itu supaya kita mengasihi Tuhan. Jangan menyesal atas masalah yang kita hadapi, karena Tuhan mau mengajak dan mengajar kita mengasihi Dia. Jangan berkata tidak punya siapa-siapa, sebab kita punya Tuhan. Dan pada akhirnya, hanya Tuhan yang bersama kita.