Skip to content

Kristen Tanpa Pertaruhan

 

Apakah kita memiliki kegentaran ketika membayangkan diri ada di hadapan takhta pengadilan Tuhan? Dulu kita yakin-yakin saja nanti kalau meninggal dunia masuk surga. Atau kalau kurang yakin, meyakin-yakinkan diri. Tetapi sekarang, setelah melewati perjalanan panjang mengikut Yesus, mengalami perjumpaan dengan Tuhan, baru merasakan kegentaran yang jauh lebih besar. Apakah kalau bertemu dengan Tuhan, kita itu diperkenan masuk pesta perjamuan Anak Domba Allah? Sejatinya, apa yang bisa kita bayangkan hari ini, belum tentu 5% dari kenyataan yang kita akan lihat. Keagungan pesta perjamuan Anak Domba, di mana ada pertemuan antara Yesus dengan orang percaya yang setia di sepanjang abad, tentu termasuk para rasul, Paulus, orang-orang saleh di sepanjang zaman sampai kita dan nanti. 

Perjumpaan inilah yang disebut sebagai pesta perjamuan Anak Domba Allah. Apakah kita layak masuk pesta perjamuan itu? Sebab tidak semua orang menjadi umat pilihan (Ef. 1:4-5). Yang menjadi umat pilihan juga harus menjadi anak-anak Allah, artinya berkeberadaan seperti Bapa. Jadi kita bisa mengerti mengapa Yesus berkata, “Kamu harus sempurna seperti Bapa, karena kamu anak. Kamu harus memiliki sifat-sifat Bapa.” Dalam 1 Petrus 1:17, kalau kita memanggil Allah itu Bapa, hati-hati dengan hidup kita. Dia tidak memandang muka, tapi memandang perbuatan, apakah yang kita lakukan sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah, artinya selalu menyenangkan Dia. Menjadi umat pilihan berarti menjadi mempelai. Dan menjadi mempelai, standarnya harus tak bercacat dan tak bernoda. 

Seperti yang dikatakan dalam 1 Tesalonika 3:13, “Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya.” Tuhan datang dengan orang kudus-Nya menjemput orang kudus. Di sisa umur hidup kita sekarang ini, kita harus benar-benar menjadi orang kudus, orang saleh di mata Tuhan. Ironis, karena sedikit sekali orang yang mau benar-benar berjuang untuk memiliki kesucian sesuai standar Allah. Tetapi sebagai umat pilihan Allah, tidak ada pilihan lain, kita memang harus menjadi orang kudus. Dan kita harus optimis bahwa menjadi orang kudus itu suatu keniscayaan. Kita bicara ini bukan karena kita mau tebar pesona, atau mau menutupi dosa. Ya, semua kita orang berdosa. Tetapi ke depan, dimulai hari ini, kita harus benar-benar hidup tak bercacat, tak bercela. 

Jangan seperti lima gadis bodoh yang ketika mengetuk pintu pesta perjamuan kawin, mereka tidak boleh masuk. Jangan kita seperti perumpamaan seorang bangsawan yang mengadakan pesta perjamuan, tamu yang diundang datang tidak memakai pakaian pesta, sehingga diusir. Mari kita serius memikirkan hal ini. Kita bisa berkeadaan seperti orang-orang itu, yang tidak diperkenan masuk pesta perjamuan atau diusir dari pesta perjamuan karena tidak memakai pakaian pesta, yang itu menunjuk pada kesucian hidup, kelayakan hidup. Semua kita harus sungguh-sungguh serius, sampai kita berpikir lebih baik tidak pernah menjadi manusia, daripada menjadi manusia yang ditolak oleh Allah. Kita harus serius, jangan tidak serius. Karena sistem pemikiran dunia ini sudah merusak pikiran kita. 

Setiap kita harus diperbaiki, harus didesain ulang. Seperti yang dikatakan di dalam Roma 12:2, sistem dunia yang merusak pikiran kita harus digantikan dengan pikiran Tuhan. Harus mengalami transformasi; perubahan pikiran agar tidak serupa dengan dunia ini. Di sini menuntut usaha yang serius, kerja serius untuk bisa mencapai standar umat pilihan yang Allah kehendaki. Jemaat di Antiokhia merupakan jemaat pertama yang mendapat julukan sebagai orang Kristen. Dan itu diberikan oleh masyarakat setempat, dari orang lain yang melihat hidup mereka, yaitu bagaimana mereka berperilaku seperti Yesus Kristus dan memperjuangkan kepentingan Yesus Kristus, bagaimana mereka rela kehilangan apa pun. Pada zaman itu, berani percaya Tuhan Yesus itu pertaruhannya segenap hidup; harta, keluarga, nyawa. 

Kondisi orang Kristen pada waktu itu, membuat mereka berhenti berbuat dosa. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Petrus, “Orang-orang yang mengalami penderitaan badani karena aniaya, berhenti berbuat dosa.” Jadi memang untuk jemaat baru itu, dikondisi demikian supaya mereka bisa menjadi orang-orang saleh. Karena standar surga tidak bisa berubah dari awal sampai nanti dunia akan datang: harus jadi orang saleh. Kalau hari ini kita ditanya orang, “Apa agamamu?” Kita menyebut diri—memberi stempel, identitas—sebagai orang Kristen. Tapi apakah Kristen yang kita sebut itu memiliki isi sesuai dengan makna kata “Kristen?” Coba kita perkarakan, “Apakah label, stempel, sebutan, status Kristen yang kita miliki itu berisi?” Karena banyak orang Kristen sekarang merupakan Kristen tanpa pertaruhan, sehingga sebutan itu mengalami dekadensi atau kemerosotan. Sebab seseorang yang mengaku Kristen, maka hidupnya harus seperti Kristus.