Sejatinya, setiap hari kita harus memiliki perasaan krisis yang positif di tengah banyak krisis yang pasti kita alami. Pasti ada saja hal-hal yang membuat kita merasa krisis, walaupun tidak terjadi setiap hari, bisa saja di saat-saat tertentu. Misalnya, ada saudara yang mengalami kecelakaan, di-PHK dari pekerjaan, ditipu, dan lain sebagainya. Tetapi, ada dua krisis yang harus selalu kita miliki, dan ini krisis yang positif, bahkan krisis yang bisa dikatakan kudus. Yang pertama, jangan sampai kita dijumpai Tuhan tidak berkenan. Pada saat mana kita tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperbaiki diri, karena kita tidak tahu kapan hari akhir kita menghembuskan napas, maka kita harus selalu berjaga-jaga. Seperti yang dikatakan di Matius 25:13, “… berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.”
Yang kedua, ini terkait dengan krisis yang umum dimiliki oleh setiap orang, yaitu kita bisa diperhadapkan kepada masalah yang tidak dapat kita tanggulangi dengan kekuatan kita sendiri. Misalnya, gempa bumi, tsunami, perang, orang jahat, terpapar penyakit yang sulit ditemukan penanganan medisnya, dan lain sebagainya. Setiap saat keadaan itu bisa berubah. Tidak usah menunggu naik pesawat 40.000 kaki di atas permukaan laut, lalu terguncang dan jatuh, tidak sengaja tertusuk benda tajam di mata dan jadi buta, sangat bisa terjadi. Atau kita ada di tengah-tengah masyarakat, dalam pergaulan atau kita berjalan di tengah banyak orang dan tertularkan penyakit parah, itu pun mudah terjadi. Kita harus mempertimbangkan bahwa setiap keadaan bisa berubah setiap saat. Keadaan sulit, masalah berat yang melampaui kekuatan kita, di saat itulah kita harus bergantung kepada Tuhan.
Namun jangan menunggu ada masalah berat baru kita mendekat kepada Tuhan, melekat, dan berpegang erat. Setiap hari kita harus berpegang erat. Karena segala kemungkinan bisa terjadi, tetapi jika kita selalu berpegang erat kepada-Nya, maka kita memiliki jaminan yang pasti, lebih dari asuransi apa pun. Untuk mobil, kesehatan, jiwa juga kita asuransikan. Mengapa kita tidak berusaha memiliki jaminan yang lebih dari apa yang manusia bisa berikan? Pegang kebenaran ini, dan percayalah hidup kita akan berubah. Sebab, dengan memiliki perasaan krisis yang positif, kita menjadi rendah hati di hadapan Allah, yang nantinya pasti juga bisa rendah hati di hadapan manusia. Orang yang tidak memiliki perasaan krisis yang positif ini sebenarnya berkategori sombong, angkuh di hadapan Allah. Dan jujurnya, dia berkata, “Aku tidak membutuhkan Engkau, Tuhan. Banyak hal lebih kubutuhkan daripada Engkau.”
Mari kita belajar kebenaran ini, yaitu kita harus membangun perasaan krisis bahwa setiap saat kita bisa berdiri di hadapan takhta pengadilan Allah dan mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang kita lakukan selama kita hidup di bumi. Kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Maka kita harus lebih waspada. Masalahnya, mungkin kita pernah mengalami dirampok, jatuh miskin, ditipu, dan lain-lain, tetapi hal berdiri di hadapan takhta pengadilan Allah, tidak seorang pun pernah, sehingga ini bisa membuat kita menjadi ceroboh; merasa “aman.” Lalu berkepanjangan seperti itu dan mulai berpikir, nanti kalau sudah kira-kira mendekati kematian baru sungguh-sungguh berurusan dengan Tuhan. Dengan cara inilah setan menipu banyak orang Kristen.
Kalau kita membaca di dalam 2 Petrus 3:4 tertulis, “Di manakah janji tentang kedatangan-Nya itu?” lalu mereka menjadi ceroboh. Orang-orang seperti ini mengejek Tuhan dengan ejekan-ejekan yang diekspresikan dengan hidup tidak sesuai dengan kehendak Allah; bukan dengan perkataan namun perbuatan. Tetapi di hati kecilnya, mungkin dia berkata, “Nanti saya berhenti berbuat dosa,” sedangkan dia tidak tahu kapan dia meninggal dunia. Di sisi lain, mereka juga tidak mengerti bahwa mencapai berkenan kepada Tuhan itu melalui proses bertahap. Kalau seseorang selalu menunda untuk berkenan, maka ia bisa berada dalam keadaan tidak bisa berubah sesuai dengan rancangan Allah semula. Terutama bagi orang-orang yang sudah lewat umur, betapa susahnya diubah. Mereka tidak menjadi orang biadab, atau orang jahat, tapi tidak mencapai kehidupan yang berkenan kepada Allah.
Kehidupan yang berkenan kepada Allah itu standarnya Yesus. Orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya Yesus itu harus seperti Yesus, kalau tidak, maka percayanya salah. Dan untuk menjadi seperti Yesus, untuk sempurna, prosesnya bertahap dan harus giat dilakukan sebab setiap hari ada kuotanya; kuota yang Tuhan berikan untuk dipenuhi. Dalam mencari nafkah, kita bekerja keras, tidak salah, memang harus begitu. Tapi ingat, apa pun yang kita upayakan dari kerja keras tersebut, akhirnya akan kita tinggalkan, tragis. Berkat yang kita terima setiap hari itu selalu baru dan tidak pernah bisa diulang, hanya oleh kemurahan Tuhan, Tuhan memberikan kemungkinan-kemungkinan lain.