Skip to content

Krisis yang Benar

Tidak ada orang yang ingin hidup dalam masalah. Itulah sebabnya setiap orang berusaha menjauhi atau menghindari segala sesuatu yang bisa mendatangkan masalah. Sebaliknya, orang akan mencari hidup dalam kebahagiaan dan ketenangan.  Kebahagiaan dan ketenangan tersebut ditandai dengan kehidupan yang tidak bermasalah. Semua orang berharap segala sesuatu berjalan lancar, sehingga mereka bisa menikmati apa yang dipandang sebagai kebahagiaan. Terkait dengan hal ini, banyak orang beragama atau bertuhan, dengan maksud menghindarkan diri dari masalah. Termasuk di dalamnya orang Kristen. 

Seharusnya, kalau kita mencari Tuhan, itu bukan dalam rangka menghindarkan diri dari masalah, melainkan agar bisa mengenal, mengalami dan melakukan kehendak serta rencana-Nya. Selanjutnya, bisa menikmati damai sejahtera Tuhan. Menikmati damai sejahtera Tuhan sama dengan menikmati Tuhan sendiri, bukan berkat jasmani-Nya. Ujian yang terberat adalah ketika kita ada dalam bahaya, ancaman, kesakitan, penderitaan, kesulitan ekonomi, tindasan, fitnah, perlakuan tidak adil, dan lain sebagainya, dan Tuhan bersikap seakan-akan tidak peduli terhadap kita. Tuhan sepertinya meninggalkan kita. Ia tidak menyatakan kuasa-Nya, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiran-Nya.

Dalam kisah Lazarus (Yoh. 11:1-32), kita mendapat satu pelajaran penting. Bukan hanya demonstrasi kuasa Tuhan yang dapat membangkitkan Lazarus yang sudah 4 hari meninggal, tapi kisah ini juga menjadi sangat menarik apabila kita menempatkan diri sebagai Marta dan Maria yang kehilangan Lazarus. Sejak Lazarus sakit, mereka sudah berkirim kabar kepada Yesus. Mereka berharap Yesus dapat datang dan menyembuhkan Lazarus. Suatu harapan yang “wajar,” mengingat mereka adalah keluarga yang dikasihi oleh Yesus. Tetapi yang terjadi adalah Yesus tidak datang sampai Lazarus meninggal. Dan Yesus baru tiba setelah Lazarus meninggal 4 hari lamanya. 

Bisa kita bayangkan betapa berduka dan kecewanya Marta dan Maria, bukan? Sampai-sampai ketika Yesus datang menemui mereka, mereka mempersalahkan Yesus. Bahkan ketika Yesus berkata bahwa Lazarus akan bangkit, Marta menyanggah. Karena secara logika, tidak mungkin jasad yang sudah mulai membusuk dapat hidup kembali. Dari perikop ini kita dapati dua kesalahan yang dilakukan Marta dan Maria, yaitu: pertama, mereka tidak sabar menunggu waktu-Nya Tuhan. Ini dibuktikan dengan persungutan mereka ketika akhirnya Tuhan datang. Kedua, mereka membatasi kuasa Tuhan dengan logika mereka sendiri. Marta percaya kebangkitan pada akhir zaman nanti, tapi bukan pada jasad yang sudah membusuk.

Sejatinya, waktu kita dalam keadaan sulit dan tidak mengalami sesuatu yang “ajaib” atau di saat kita sedang tidak merasakan kehadiran Tuhan, justru di saat itulah Tuhan sebenarnya sedang memercayai kita untuk tetap percaya. Kita dipercaya sudah bisa diajak sepenanggungan dengan-Nya. Di situlah kita harus belajar percaya walau tidak melihat. Kita harus proaktif untuk mencari dan menemukan Tuhan. Dan kita pasti menemukan Tuhan. Ternyata “keterlambatan kedatangan” Tuhan di keluarga Marta dan Maria memiliki maksud yang sangat indah. Dalam Yohanes 11:15 dikatakan, “tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya.” Yesus mau mengajar Marta dan Maria—dan juga kita—untuk tetap percaya walau kehadiran dan kuasa-Nya seakan-akan tidak ada. Sayangnya, banyak orang yang tidak sabar dan ingin mencari kemapanan di bumi. 

Setidaknya ada empat ciri, yaitu: Pertama, ia tidak menghayati bahwa dunia bukan rumah orang percaya. Mereka tidak dapat menghayati hidup sebagai musafir di bumi. Tuhan sendiri yang berkata: “kamu bukan berasal dari dunia ini.” Kedua, ia tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber satu-satunya kebahagiaan. Padahal, Tuhan mengajarkan kita bahwa Dialah sumber kebahagiaan satu-satunya. Kalau tidak, berarti kita “berzina rohani.” Pemazmur juga mengajarkan satu hal: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:25-26).

Ketiga, ia tidak bisa jadi anggur yang tercurah dan roti yang terpecah, karena sebagian besar porsi hidupnya pasti untuk memenuhi egoisme pribadinya. Ia tidak bisa melayani Tuhan sebagaimana mestinya. Hidupnya hanya untuk menikmati dunia, bukan untuk melayani sesama. Orang seperti ini bukan berarti tidak bekerja keras dan rajin. Ia bahkan mungkin lebih baik dari orang percaya lainnya, tetapi semua yang dia raih, itu demi kemapanan hidup yang menjadi agendanya. Keempat, ia tidak bertumbuh dalam kesempurnaan. Orang seperti ini tidak mungkin haus dan lapar untuk mencapai kesucian yang ideal sesuai takaran Tuhan. Ia puas dengan kerohaniannya, dan prinsipnya adalah: “asalkan aku tidak jahat.” Orang-orang seperti ini tidak pernah bisa mengenakan karakter Kristus di dalam hidupnya. Sejatinya, kita harus selalu merasa punya perasaan krisis. Seperti “api di celana,” seperti “kebakaran jenggot.” Belum menikah, belum punya barang ini dan itu, bukanlah krisis yang benar. Krisis hidup yang benar harus ditujukan bahwa kita belum sempurna, belum menjadi manusia baru.

Krisis hidup yang benar harus ditujukan bahwa kita belum sempurna, belum menjadi manusia baru.