Skip to content

Kompleksitas Karakter Manusia 2

 

Selanjutnya, yang kedua, kita mulai menyadari kompleksitas sifat, karakter manusia ketika kita ada di hadirat Allah, di dalam terang kesucian Allah yang menembus hati. Sebab di situ kita baru menyadari siapa kita yang sebenarnya, betapa keadaan kita benar-benar seperti kain kotor. Jadi kita bisa mengerti kenapa pemazmur berkata di Mazmur 19:13, “Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari.” Kata ‘tidak kusadari’ dalam teks aslinya adalah satar, yang artinya tertutup, tersembunyi, atau termeterai. Jadi tertutup, dan terbuka waktu kita betul-betul mau mencapai kesucian yang sebersih-bersihnya.

Yeremia 17:9 mengatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah mengeras atau membatu. Siapakah yang dapat mengetahuinya?” Orang semakin pintar, semakin licik. Kalau seseorang tidak diterangi oleh Roh Kudus di dalam terang kekudusan Allah, maka ia tidak mengenali dirinya. Jadi, yang pertama, kita harus ambisius untuk memiliki keinginan mencapai kesucian yang sempurna. Slogan “Aku tidak akan pernah berbuat dosa lagi” harus kita terapkan, walaupun kenyataannya masih bisa salah, dan setiap salah kita akan rasa sakit sekali. Kita harus melalui proses. Ke depan, kita akan menghadapi cobaan sesuai dengan kemampuan kita. Sehingga kita pasti bisa memikulnya, bahkan aniaya seberat apa pun, pasti kita mampu sehingga kita tetap bisa hidup kudus.  

Yang kedua, selalu ada di hadirat Tuhan. Semakin banyak kita berdoa, semakin kita dapat melihat keadaan diri kita yang rusak. Mazmur 139:23-24 menuliskan, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” Dalam teks aslinya dalam bahasa Ibrani, “Apakah ada berhala?” Ternyata diri kita ini bisa menjadi berhala, karena kita mau menikmati apa yang menurut kita menyenangkan, bukan apa yang menurut Tuhan menyenangkan. Mengapa kita bicara begini? Mengapa kita buat ini dan itu? Karena kita senang melakukan itu. 

Seseorang yang digarap Tuhan—karakter, sikap, attitude, manner, watak—tidak akan menjadi ‘ancaman’ bagi sesama. Kita punya wibawa dan orang bisa segan dan takut, tapi tidak merasa terancam. Dan orang-orang seperti ini pasti akan diberkati Tuhan. Jadi, kalau kita menyelesaikan kompleksitas diri kita, maka kita menjadi orang yang tidak akan melukai orang atau tidak akan mudah melukai orang. Tetapi orang-orang jahat akan terluka oleh kebaikan dan kemurnian hati kita. Tapi itu bukan salah kita. Maka, rendahkan hati kita, dan kenali bahwa diri kita itu buruk dengan segala kelicikannya. Dan Tuhan menguji, Wahyu 2:23, “Akulah yang menguji batin dan hati orang, dan bahwa Aku akan membalaskan kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya.” 

 

Mari kita mulai sekarang berusaha untuk menjadi orang saleh sesaleh-salehnya, orang suci sesuci-sucinya. Bagaimana sungguh-sungguh berkenan kepada Tuhan, menyenangkan hati Tuhan. Kalau sejak muda sudah mengerti hal ini dan berusaha membenahi diri, maka ia akan jadi manusia yang agung sekali. Kalau sudah telanjur menjadi tua, susah diubah. Bisa, namun perlu kerja sangat keras. Misalnya, ketika kita melihat orang yang pernah melukai, kita tidak persoalkan, kita diam saja. Tapi sejujurnya, di hati kita bagaimana? Masihkah kita menyimpan kebencian dan kemarahan? Siapa yang bisa membaca itu? Itulah salah satu kompleksitas manusia. 

Kalau kita tidak rendah hati, maka kita tidak akan pernah jadi manusia utuh. Dan jujur saja, kalau kita bicara seperti Yesus, itu abstrak. Karena hal ini memang tidak bisa dibahasakan dengan kalimat. Roh Kudus menuntun kita kepada seluruh kebenaran, termasuk kompleksitas ini. Yohanes 2:24 mengatakan, “Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua.” Seharusnya kita ‘gentar’ membaca ayat ini. Bagaimana kalau Tuhan tidak mempercayakan sesuatu kepada kita karena Dia mengenal kita sebagai pribadi yang tidak patut dipercayai? Mengerikan.

Jadi, kalau kita tidak membenahi kompleksitas karakter kita, maka kita tidak akan pernah menjadi berkat. Kita mau mengangkat-angkat diri bagaimana caranya pun, kita tidak akan pernah berdampak luas. Kita tidak akan pernah mencetak manusia yang unggul kalau kita tidak unggul. Tuhan sering mengizinkan hal-hal tertentu terjadi supaya kita bisa melihat apakah air di ember hidup kita itu keruh atau tidak. Jadi, kalau air itu tidak diobok-obok, maka tidak kelihatan keruh atau tidaknya. Tapi ketika ada masalah, di mana kita tersentuh, tersinggung, barulah terlihat. Atau Tuhan beri kesempatan kita menjadi hebat, terkenal, dipuji orang; apakah kita tetap rendah hati atau menjadi sombong?