Kalau kita membaca kisah Daniel, Sadrakh, Mesakh, Abednego di kitab Daniel 1, kita melihat bagaimana orang-orang muda dari Yehuda ini memiliki semacam ikatan perjanjian dengan Allah, dan mereka mempertaruhkan hidup mereka. Sementara orang-orang lain bisa menikmati makan minum sepuas-puasnya. Tetapi pemuda-pemuda Yehuda ini, tidak mencemarkan diri mereka dengan makanan yang tidak halal, makanan yang najis. Mereka tidak mencemarkan diri mereka. Dan ternyata, setelah beberapa waktu, diadakan pengujian tubuh, terbukti mereka lebih sehat. Jadi, ada faktor X yang membuat mereka menjadi orang-orang perkasa secara fisik maupun secara pengetahuan. Raja Nebukadnezar mengakuinya, Raja Darius juga mengakui bahwa ada roh atau dewa—menurut versi mereka—yang berkuasa dan berhikmat atas mereka.
Allah yang disembah oleh Sadrakh, Mesakh, Abednego, Allahnya Daniel, adalah Allah kita juga, Allahnya orang Kristen. Tapi mengapa kita tidak menemukan keunggulan dari Allah yang dahsyat, Allah yang disembah oleh Sadrakh, Mesakh, Abednego dan Daniel ini? Karena kita tidak berani membuat semacam perjanjian atau komitmen. Kita mengukur diri kita dengan ukuran nalar dan pikiran kita sendiri, tapi kita tidak membuat ukuran yang dari Allah, atau kita tidak memperkarakan ukuran dari Allah di dalam hidup kita. Padahal terbuka kesempatan kita bisa mendemonstrasikan kuasa Tuhan yang dahsyat, karena Allah itu dahsyat. Tapi harus ada komitmen, kehidupan kita yang benar-benar bersih. Kalau di dunia kita hari ini, kita tidak sungguh-sungguh ekstrem, maka kita tidak akan bisa menghadirkan Allah dalam hidup kita dan melawan arus dunia yang kuat.
Bagaimana Sadrakh, Mesakh, Abednego, Daniel mampu melawan arus? Di atas kertas, dalam perhitungan pikiran manusia, mereka akan sakit, lemah, tersingkir. Tapi ternyata tidak. Jadi, mari kita memercayai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah yang juga disembah oleh Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Allah yang sama yang kita sembah. Maka kita harus berani berkomitmen untuk menghadirkan Dia di dalam hidup kita. Kalau tidak dibangun patung di Lembah Dura oleh Nebukadnezar, maka tidak pernah ada kisah perapian yang dinyalakan tujuh kali lipat, namun tidak menghanguskan selembar rambut pun. Kalau tidak ada aturan bahwa dalam beberapa waktu tidak boleh menyembah allah lain atau dewa lain selain yang ditentukan oleh raja, maka Daniel tidak pernah masuk gua singa. Jadi, perapian yang menyala dan gua singa merupakan arena di mana Allah hadir dan menyatakan kemuliaan-Nya.
Ketika kita punya komitmen, tekad untuk serius dengan Tuhan, maka Tuhan akan membuat perkara, di mana itu adalah arena Tuhan untuk menyatakan diri dan kemuliaan-Nya. Memang hanya orang-orang khusus yang diperkenan Tuhan atau dianugerahi Tuhan arena-arena seperti ini. Ini berat. Coba bayangkan, bagaimana bangsa Israel ketika di depan mata mereka ada Laut Kolsom yang bergelora, sementara Firaun dan tentaranya mengejar di belakang. Kalau mereka melihat dengan mata, mereka mati berdiri. Tapi firman Tuhan mengatakan, “Lihatlah pertolongan yang datang dari atas.”
Kalau Daud melihat Goliat dengan mata jasmani, dia pasti gemetar dan lari sebelum maju perang. Tapi bagaimana Daud melihat apa yang tidak dilihat oleh mata manusia, bahkan tidak dilihat oleh Saul sendiri? Iman Daud dikalimatkan dengan kalimat, “Kamu datang dengan pedang dan tombak, aku datang dalam nama Tuhan.” Harus ada Goliat untuk menunjukkan keperkasaan Allah Israel Elohim Yahweh, harus ada orang yang berani membuat komitmen dan siap menyongsong perkara yang Allah akan perkenan adakan. Kalau kita tidak ekstrem sungguh-sungguh, nekat sungguh-sungguh, maka kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Allah. Allah hanya cerita dalam Alkitab, dalam buku, di mulut dan di bibir, Allah hanya di fantasi para pendeta dan teolog. Tapi kalau kita punya komitmen yang kuat, tekad yang kuat, maka Allah akan ada dalam kisah hidup kita.
Seandainya beberapa puluh, beberapa ratus tahun yang akan datang, Tuhan belum datang, dan kisah hidup kita ditulis, maka di situ ada kehadiran Allah. Seperti kisah Daud yang menyatakan kekuatan kemuliaan Elohim Yahweh dengan menggulingkan Goliat, demikian pula kita. Dan lebih dahsyat lagi seperti Yesus menaklukkan keinginan diri-Nya dan hidup hanya menuruti kehendak Bapa, kisah yang ditulis dalam tinta emas di Kerajaan Surga, kisah hidup kita juga demikian. Tapi kita akan menghadapi banyak pencobaan, godaan, tantangan, dan berbagai kejahatan atau maksud jahat yang ditimpakan kepada kita. Namun, di situ kemuliaan Allah dinyatakan. Mari kita berpikir besar sebagai anak-anak Allah. Mari kita bangun komitmen untuk hidup suci, untuk tidak punya kesenangan kecuali apa yang Tuhan taruh di hati kita untuk kita ingini. Jangan punya keinginan apa pun selain apa yang Tuhan kehendaki untuk kita ingini.