Tuhan mengingatkan bahwa kita harus mempersembahkan atau memberikan segenap hidup kita bagi-Nya. Sudah sangat jelas maksud hukum terutama yang Tuhan Yesus kemukakan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan kekuatan.” Namun, sedikit sekali orang yang benar-benar mempersoalkan apakah dirinya benar-benar telah mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan atau belum. Jarang sekali orang memperkarakan hal ini di hadapan Tuhan. Memang, porsi setiap orang itu berbeda, yang pertama, tergantung pada usia rohani orang tersebut; sudah berapa lama dia menjadi anak-anak Allah.
Yang kedua, tergantung dari porsi kesempatan yang Tuhan berikan. Tentu kalau orang ada di pedalaman sebuah pulau yang jarang dikunjungi penginjil, tidak ada pendeta, maka ia tidak bisa dituntut seperti orang yang ada di kota besar yang hampir tiap hari mendengar khotbah. Tetapi Tuhan mau setiap orang mencapai keutuhan cintanya kepada Allah sesuai usia rohani, sesuai porsi yang diberikan kepada masing-masing kita. Ironis, ternyata kita belum memperlakukan Dia secara patut. Jangan sampai kita menyesal, maka marilah kita sungguh-sungguh mempersembahkan hidup kita kepada-Nya.
Sampai pada akhirnya, kita bisa berkata, “Hanya ada satu cinta yang kusisakan di dalam diriku, yaitu cinta pada-Mu, ya Tuhan. Pada akhirnya, tidak ada yang kuperjuangkan selain cintaku kepada-Mu.” Dan ini tidak berlebihan, sebagaimana Ayub berkata, “Aku datang telanjang dan pergi telanjang.” Secara fisik tidak ada yang kita bawa, apa pun termasuk segala kehormatan. Tetapi selama perjalanan hidup 70, 80, 90, 100 tahun, kalau kita bisa membangun cinta kepada Tuhan sebulat-bulatnya, seutuh-utuhnya, sepenuh-penuhnya, semurni-murninya, betapa beruntungnya kita. Sebab cinta harus diperjuangkan dan harus diwujudkan.
Cinta bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Cinta ada dalam batin, tapi memancar dalam seluruh perbuatan kita. Dan Allah mencium persembahan keharuman dari cinta kita. Dan kita bisa berkata kepada Tuhan, “Apa yang masih kupertahankan dalam hidupku yang belum aku serahkan? Apa yang masih kupertahankan dalam hidupku yang tidak kusembelih menjadi korban bakaran di hadapan-Mu?” Sampai ada ketakutan di dalam diri kita, yaitu bagaimana cara kita membelanjakan uang untuk sesuatu dengan uang yang Tuhan percayakan.
Lalu berkembang lagi takut dengan setiap kata yang kita ucapkan. Mulut kita bisa memproduksi perkataan apa pun. Tapi produksilah, ucapkanlah kata yang manis didengar Tuhan, tak peduli orang mau dengar senang atau tidak. Lalu, ketakutan kita yang berikut adalah apakah kita telah memperjuangkan pekerjaan Tuhan dengan menguras apa pun yang kita miliki? Segenap hidup harus kita persembahkan, pelayanan sepenuhnya harus untuk Tuhan. Jangan takut, kita tidak akan pernah dipermalukan Tuhan. Ingat, seluruh hidup kita adalah pekerjaan Tuhan.
Kedengarannya ekstrem, tapi ini standar. Hidup kita harus memancarkan kemuliaan Allah. Bumi penuh dengan kemuliaan-Nya; bukan hanya benda-benda yang memuliakan Allah karena keagungan karya-Nya yang dahsyat, namun hidup kita yang merupakan karya Roh Kudus yang diubahkan juga memancarkan kemuliaan Allah. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan. Tuhan harus menjadi satu-satunya fokus kita. Jangan ada kesibukan lain. Fokus kita hanya kepada Tuhan saja.
Miliki tekad ini: “Tidak ada yang kusisakan selain satu, cintaku kepada Tuhan. Tidak ada lagi yang kuperjuangkan selain cintaku kepada Tuhan. Kuperjuangkan cintaku kepada Tuhan lewat bagaimana aku memperkokoh keluargaku, bagaimana aku bekerja dalam usahaku, bagaimana aku bekerja di perusahaan, dan bagaimana aku memenuhi tanggung jawabku di tengah-tengah masyarakat.” Di situlah kita menyatakan cinta kita kepada Tuhan. Maka, sebelum waktu berlalu dan kita kehilangan kesempatan, lakukan ini.