Skip to content

Ketragisan Hidup

 

Kejadian 2:16–17 mencatat firman Tuhan: “Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat itu janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati.” Inilah peringatan yang paling mengerikan. Makan buah pengetahuan tentang yang baik dan jahat berarti mengonsumsi, menyerap sesuatu yang bukan berasal dari Allah di dalam pikiran manusia. Ada banyak buah untuk dimakan secara fisik, tetapi buah pengetahuan ini berbicara mengenai isi pikiran. Ketika Adam dan Hawa menyerap sesuatu yang bukan berasal dari kebenaran Allah, mereka gagal mencapai standar kesucian yang Allah kehendaki. Manusia pertama pun gagal menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah.

Kejadian 3:19 menegaskan: “Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Inilah peristiwa paling tragis dari semua peristiwa. Coba bayangkan, manusia pertama hidup dalam dunia yang sempurna, sebab Allah menciptakan bumi dalam keadaan “sungguh amat baik.” Seharusnya manusia tidak mengalami kematian, karena memang Allah tidak mendesain manusia untuk mati. Namun ketika manusia gagal mencapai standar kesucian yang Allah kehendaki—gagal memiliki gambar dan rupa Allah—maka manusia harus mati.

Keindahan dalam kekekalan yang dimiliki manusia sebelumnya pupus dan ini tragis sekali. Hidup menjadi tragis. Manusia yang gagah, cantik, kaya, terhormat, berpangkat, bergelar, atau berkedudukan tinggi, pasti mati. Seandainya manusia diberi kesempatan hidup seribu tahun, sepuluh ribu tahun, bahkan sejuta tahun, tetapi bila ada ujung akhirnya, itu tetap mengerikan. Hidup di bumi, di mana manusia pasti mati dan dunia semakin rusak, adalah kenyataan tragis. Namun banyak orang tidak menghayati ketragisan ini. Secara logika mereka tahu bahwa hidup ini tragis, tetapi mereka tidak mampu menghayatinya. Akibatnya, mereka tidak mempersiapkan diri secara proporsional, benar, dan memadai untuk kehidupan setelah kematian.

Mengapa manusia tidak mampu menghayati ketragisan hidup? Pertama, karena mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai kebenaran. Kedua, karena mereka sudah terlanjur memiliki cita rasa dunia, sehingga hidup mereka dibelenggu oleh obsesi dan keinginan untuk meraih sebanyak mungkin hal-hal duniawi demi kelengkapan dan kebahagiaan hidup.

Sejujurnya, banyak di antara kita yang masih ingin memiliki ini dan itu, dengan harapan bila memilikinya, hidup terasa lebih lengkap dan bahagia. Tetapi di sinilah kita gagal melihat ketragisan hidup. Orang yang serakah pasti tidak mampu menghayati ketragisan hidup. Orang yang masih mengingini dunia mustahil bisa menghayatinya. Akibatnya, orang seperti ini tidak mempersiapkan hidupnya untuk kekekalan. Tragisnya lagi, hampir semua manusia terbelenggu oleh cinta dunia sehingga tidak menyadari betapa tragisnya hidup ini.

Kapan seseorang baru bisa menghayati ketragisan hidup? Pertama, ketika ia berada di ujung maut, saat sekarat. Kedua, ketika ditinggalkan orang yang paling dicintai—orang tua, anak, atau pasangan hidup. Ketiga, ketika jatuh miskin, menderita sakit yang tidak ada obatnya, ketika tertindas, diperlakukan tidak adil, atau hidup penuh sengsara di bumi. Biasanya kesadaran itu baru muncul lewat pengalaman-pengalaman negatif. Tetapi seharusnya kita tidak menunggu hal-hal itu terjadi untuk sadar. Jika kita belajar kebenaran firman Tuhan, memiliki pemahaman yang cukup, dan mengalami perubahan cita rasa, maka kita tidak lagi terobsesi dengan dunia dan keindahannya. Barulah kita bisa menghayati ketragisan hidup. Tidak mudah namun hanya dengan menghayatinya, kita dapat mempersiapkan diri dengan benar untuk kehidupan kekal yang akan datang.