Skip to content

Ketekunan Tingkat Tinggi

Saudaraku sekalian yang kekasih,

Pada kesempatan ini, ada satu kata yang saya mau bagikan kepada Saudara yang saya yakini ini yang dikehendaki oleh Bapa untuk disampaikan, yaitu bertekun. Tidak banyak orang yang memiliki ketekunan, apalagi ketekunan tingkat tinggi. Orang bisa berdoa, orang bisa mengerjakan pekerjaan Tuhan, orang bisa berkhotbah, orang bisa hidup suci, tetapi sesaat, atau mungkin sedikit agak lama. Tetapi saat-saat tertentu, oleh karena satu dan lain hal, mereka berhenti. Tentu pengalaman seperti itu juga kita alami. Artinya kita juga melakukan tindakan tidak bertekun dengan baik atau tidak bertekun dengan berkualitas tinggi. 

Ketekunan tingkat tinggi merupakan standar ketekunan anak-anak Allah, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah model dari kehidupan Anak Allah yang bertekun. Ketekunan sampai mati di kayu salib dalam ketaatan kepada Bapa dan tanpa kecurigaan, tanpa keraguan terhadap Bapa di surga. Luar biasa! Walaupun Dia mengucapkan kalimat, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani, Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Namun akhirnya tetap Dia berkata, “Ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Memang etekunan bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi bagi Tuhan Semesta Alam yang Mahatinggi, yang Mahamulia, dibutuhkan ketekunan tingkat tinggi. Ketekunan yang benar-benar tingkat tinggi dan standar ketekunan kita adalah ketekunan standar Tuhan Yesus Kristus. 

Masing-masing kita pasti memiliki pergumulan dalam hal bertekun ini; mungkin tidak jauh beda atau bisa sama persis. Kita berkomitmen untuk hidup suci, tetapi lingkungan kita hidup sembarangan, sehingga kemudian kita juga menghadapi kecenderungan-kecenderungan hati dan peluang-peluang untuk menyimpang atau tidak hidup di dalam kesucian. Kita bisa tidak bertekun di situ. Atau kita mengabdi dengan sungguh-sungguh, tetapi kita menghadapi tantangan orang di sekitar kita yang membuat kita menjadi lemah. Apalagi kalau tantangan itu datang dari orang-orang yang kita hormati yang kita pandang sebagai teladan atau contoh. Dan di situ kita bisa berhenti bertekun. Dan yang paling bisa membuat kita lemah dalam bertekun adalah jika kita tidak sangat serius ikut Tuhan. Manalagi ketika kita merasa Tuhan itu seperti tidak peduli; Tuhan diam saja. Di saat kita menghadapi masalah seperti yang orang lain hadapi, lalu kita berpikir: “Apa bedanya saya dengan orang-orang itu? Kok, mereka punya masalah yang sama dengan saya, mestinya saya tidak punya masalah seperti mereka, mestinya saya istimewa, kan saya sungguh-sungguh melayani!” 

Saudaraku,

Tetapi Tuhan mengizinkan kita punya masalah-masalah. Ini masalahnya! Jadi kita berhenti bertekun karena kita menghadapi masalah-masalah seperti orang lain menghadapi. Kita merasa tidak diistimewakan. Lalu Tuhan seperti tidak mau bicara kepada kita. Tuhan diam, Tuhan seperti tidak ada. Wah, ini membuat kita juga kadang-kadang mulai melihat kanan-kiri dan mencari sampingan, sambilan. Kita bangun pagi, kita menembus rasa kantuk, kita melepaskan selimut, kita doa setiap pukul 5 pagi, tetapi keadaan saya kok tidak berubah? Tuhan seperti diam saja tidak peduli terhadap kesetiaan saya ini. Ini bisa membuat kita lemah. Tetapi kita harus bertekun. Kita harus berani tetap bertekun! Banyak orang tidak mau doa pagi, tidak mau mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, mereka pikir itu tidak ada gunanya, mereka pikir sama saja mau doa pagi atau tidak. Kalau kita melihat kemuliaan Allah nanti, kita melihat Kerajaan Surga, kita lihat betapa menggetarkannya pengadilan Tuhan, apalagi kalau melihat neraka; wah, jangankan bangun pukul 5 pagi, pukul 3 pagi setiap hari pun kita rela. 

Tetapi ironis, banyak orang tidak berpikir betapa mengerikannya keadaan orang yang terpisah dari Allah. Maka sangat penting untuk kita menjadi orang yang berkenan di hadapan Allah. Kita harus menambah orang yang berkenan di hadapan Allah; setiap hari. Kalau menggunakan kata “corpus delicti,” menambah jumlah corpus delicti. Kita termasuk orang yang serupa dengan Yesus, menjadi anak kesukaan Bapa. Kita sendiri nanti yang akan menuai apa yang kita tabur hari ini, yaitu ketika kita menjadi anak kesukaan Allah sejak di bumi ini. Itulah yang mestinya menjadi kerinduan kita satu-satunya. 

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono

Ketekunan tingkat tinggi merupakan standar ketekunan anak-anak Allah, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Tuhan Yesus.