Kalau orang melakukan hukum berdasarkan budaya, baik yang tertulis maupun tidak, ada formatnya. Misalnya menolong orang miskin, membela orang lemah, ada formatnya. Kalau kita, formatnya bukan tertulis, bukan juga budaya, melainkan pikiran dan perasaan Allah yang kita kenakan. Kalau kita mengaku Yesus sebagai Raja, kita taat kepada Yesus, kita mengenakan pikiran dan perasaan-Nya, serta menerjemahkannya dalam perilaku dan kehidupan yang ditujukan untuk orang lain. Kalau raja pada umumnya, mau dipuaskan keinginannya, dituruti, semua dikerjakan untuk dirinya sendiri, tetapi Tuhan tidak. Tuhan mau kita melakukannya untuk orang lain.
Firman Tuhan mengatakan, “Ia tidak menghendaki seorangpun binasa.” Perasaan itu mestinya kita miliki dalam kadar yang tepat, yang diterjemahkan oleh Tuhan Yesus dalam perilaku-Nya. Selama 33,5 tahun ada di bumi, Dia menerjemahkan perasaan Bapa. Kita sebagai utusan Tuhan Yesus, memperagakan perasaan yang sama. Betapa Tuhan dipuaskan kalau ada orang-orang yang memiliki perasaan itu. Tuhan mau memperhatikan semua orang yang Ia kehendaki, tetapi Tuhan tidak turun dengan tangan dan kaki-Nya. Dia turun melalui tangan dan kaki kita. Kalau Firman Tuhan mengatakan Dia tidak menginginkan seorangpun binasa, maka kita harus punya beban itu. Kalau Yesus membayar harga keselamatan manusia dengan darah dan nyawa-Nya, kita pun harus berani mempertaruhkan apa pun demi keselamatan orang lain.
Sayangnya, kita sering menjadikan diri kita raja. “Apa yang kuingini, harus kucapai. Apa yang memuaskan diriku, harus kulakukan.” Orang seperti ini belum menjadikan Yesus sebagai Raja. Agama lain juga mengajarkan, orang di luar Kristen juga bisa berbuat kebaikan berdasarkan format-format, baik tertulis maupun tidak. Sedangkan kita, berdasarkan pikiran dan perasaan Tuhan. Jadi kalau untuk orang di luar umat pilihan, “Apa yang kau perbuat untuk saudaramu yang membutuhkan,” itu maksudnya “perbuatanmu kepada-Ku.” Tetapi orang Kristen, “Kamu memperagakan pikiran, perasaan-Ku. Apa pun yang kau lakukan, sangat memuaskan hati-Ku.” Maka, orang harus bertumbuh dewasa. Bukan sekadar mengerti tatanan hukum mengasihi, menolong orang miskin.
Dan ini harus dimulai dari kedewasaan rohani. Dimulai dari kecerdasan roh, ketika bertumbuh memiliki pikiran dan perasaan Kristus, sehingga hidup kita memperagakan pikiran dan perasaan-Nya. Tuhan senang kita menolong orang miskin. Tuhan memang menghendaki kita menolong orang lemah. Tetapi, Tuhan lebih menghendaki kita melakukan segala sesuatu karena pikiran dan perasaan-Nya. Dan pasti sesama kita diberkati, karena Tuhan Yesus bukan Raja yang mau disenangkan untuk kepentingan-Nya. Kedengarannya berlebihan, tetapi itulah standar yang Allah Bapa kehendaki. Kita harus menerimanya sebagai kehormatan. Kalau kita benar-benar menerima Yesus sebagai Tuhan, artinya Tuan, Majikan, maka kita harus menundukkan diri di hadapan Tuhan, segenap hidup sepenuhnya. Tidak ada bagian untuk hidup kita sendiri. Semua kita lakukan untuk Dia.
Oleh sebab itu, kalau seseorang masih merasa memiliki sesuatu, masih berhak memiliki sesuatu, apakah materi maupun non materi, masih merasa punya kesenangan, tidak mungkin dia bisa memperagakan kehidupan Yesus. Kita bisa mengerti mengapa Tuhan mengatakan, “Barangsiapa mengikut Aku, dia harus menyangkal diri dan memikul salib.” Menyangkal diri bukan hanya tindakan berkata “tidak” untuk dosa, tetapi berani membunuh seluruh naluriah manusiawinya supaya bisa mengenakan karakter Kristus. Ini bukan Kristen aneh; ini standar. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu Paulus mengatakan, “Aku mengenakan kehidupan Yesus.” Sebelum kita meninggal dunia, matikan manusia lama kita oleh pertolongan Roh Kudus, supaya Yesus hidup di dalam kita.
Jika kita bertekad seperti ini, maka kalau ada tindakan-tindakan kita yang kurang tepat, kita akan merasa gelisah luar biasa. Tidak perlu sampai melakukan pelanggaran moral. Ketidaktepatan kita bertindak, sudah mendukakan hati Tuhan, dan kita akan merasakannya. Bejana hidup kita harus dikosongkan, baru Tuhan bisa mengisi. Jadi, ‘matikan aku’ sama dengan mengosongkan bejana. Jangan merasa berhak memiliki sesuatu dan jangan merasa ada kesenangan di luar Tuhan. Kesenangan kita hanya Tuhan. “Kamu tak dapat mengabdi pada dua tuan,” Matius 6:24. Kepatuhan kita haruslah kepatuhan sepenuhnya. Betapa miskin kita dulu memahami ketaatan kepada Tuhan Yesus. Kacau, absurd, tidak jelas. Sekarang baru jelas, tetapi kita harus berjuang untuk bisa memiliki ketaatan dan kepatuhan. Sebab, kepatuhan dan ketaatan kepada Yang Mulia Tuhan Yesus, itu ketaatan 100%; tanpa batas.
Orang yang bejana hatinya tidak diisi oleh Tuhan, apakah tidak bisa berbuat baik? Bisa. Dia menggerakkan tangannya menolong orang berdasarkan format-format hukum kasih yang dia pahami, karena memang Allah menuliskan Taurat-Nya dalam hati manusia. Dari hatinya, dia berbuat. Dia gunakan tangannya menolong orang, dia menjadikan tangannya menolong sesamanya. Tetapi, kalau seseorang telah bertumbuh dewasa, segambar, serupa dengan Allah, memiliki pikiran dan perasaan Kristus, berkodrat ilahi, mengambil bagian dalam kekudusan Allah, “Hidupku bukan aku lagi tetapi Kristus yang hidup di dalam aku,” tangannya menjadi tangan Tuhan. Menjadi tangan Tuhan, artinya pikiran dan perasaan kita harus mengenakan pikiran dan perasaan-Nya.
Jangan merasa berhak memiliki sesuatu dan jangan merasa ada kesenangan di luar Tuhan.