Skip to content

Keputusan untuk Hidup Suci

 

Kita harus berani membuat keputusan untuk hidup suci. Ini adalah keputusan yang sangat besar. Setiap kita bukanlah manusia yang selalu hidup suci. Kita melewati tahun-tahun hidup yang juga tidak bersih. Tapi ketika kita mengarahkan hati kepada kesucian dan membulatkan tekad, maka Roh Kudus menuntun kita. Jangan berpikir kesucian itu tidak bisa dicapai di bumi. Tuhan yang berkata, “Kuduslah kamu,” itu tentu di Bumi, bukan di dunia lain. Jangan berpikir bahwa kesucian membuat hidup kita akan menjadi kurang lengkap, kurang utuh, kurang bahagia. Jangan juga berpikir, bahwa kesucian yang kita miliki akan membuat kita tersingkir dari dunia. Kalaupun tersingkir, tidak masalah. Dan jangan berpikir, kesucian itu bukan urusan kita.

Hidup kita tidak mungkin tidak berubah, sebab kesucian membuat hidup kita berubah. Allah akan melindungi kita sempurna. Kita akan melihat perubahan yang luar biasa. Dalam 1 Petrus 1:16-17 dikatakan, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia.” Jadi, kalau kita mau masuk wilayah kekudusan, kita seperti pakai baju putih, dan memang darah Yesus sudah menguduskan kita. Kita akan lebih hati-hati, sebab kalau ada noda akan tampak. 

Kesucian hidup membuat kita lebih takut. Ada perasaan takut dan gentar kalau berbuat salah. Sulit kita menikmati dosa, walaupun dosa itu nikmat di daging. Tapi, ketika kita sudah punya komitmen, maka ketika kita punya dosa, luar biasa sakitnya. Tidak perlu dosa besar, kemelesetan-kemelesetan juga cukup membuat kita terganggu. Jangan ditunda, sebab penundaan akan menghasilkan atau membuahkan kegagalan. Tekad kita untuk memiliki kesucian merupakan ukuran seberapa kita sungguh-sungguh serius mau berurusan dengan Tuhan. Tidak ada ukuran atau parameter lain untuk menunjukkan keseriusan kita mau berurusan dengan Tuhan selain kesucian.

Sejarah hidup kita akan berubah, jadi kalau keadaan kita tidak berubah, ada yang salah. Ayo kita mulai dari hal ini. Ketika kita serius berurusan dengan Allah, maka Allah akan serius berurusan dengan kita. Masalah kesehatan, ekonomi, keluarga, anak-anak menjadi objek masalah Tuhan. Dan Tuhan akan tolong karena kita menghormati Dia. Jadi, yang pertama, seberapa kita serius mau berurusan dengan Tuhan, diukur dari kesucian hidup kita. Namun, selama ini kita tidak memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh. Sekarang kita bisa berkata, “Terkutuklah aku kalau aku tidak hidup suci, terkutuklah aku kalau aku tidak mengasihi Tuhan.”

Kesucian itu abstrak. Sebab, kalau kesucian menurut hukum dalam agama-agama samawi pada umumnya, ukurannya jelas, yaitu hukum tertulis. Misalnya, yang namanya membunuh adalah menghabisi nyawa orang; yang namanya berzina adalah melakukan hubungan seks di luar nikah. Tapi kalau kesucian itu berangkat dari perasaan Tuhan, siapa yang bisa membaca ini kecuali Tuhan sendiri? Juga Roh Kudus dan pribadi orang itu, yaitu ketika kita masuk ke dalam kesucian menurut standar Allah, baru hal itu tidak menjadi abstrak, jelas. Dan di situ, kita baru bisa mengerti apa artinya tinggal di dalam Tuhan. Seperti yang dikatakan 1 Korintus 6:17, “Barangsiapa mengikatkan diri dengan Allah menjadi satu roh.”

Kalau agama yang kesuciannya didasarkan hukum, maka orang terikat dengan agama itu melalui sarana hukum. Tapi, kalau anak-anak Allah, kesuciannya didasarkan pada standar Allah: pikiran-Nya, perasaan-Nya, selera-Nya, cita rasa Allah. Dan Tuhan pasti memberi tahu, “Yang ini meleset, yang ini tepat.” Sebab, kalau mau ikut Tuhan Yesus, maka secara hukum kita harus sudah benar dulu. Setelah secara hukum benar, baru masuk wilayah presisi atau ketepatan. Dan untuk ketepatan ini, ukurannya Tuhan. Jadi, orang yang benar-benar mau memburu kesucian standar Allah baru mengerti apa artinya ikatan satu roh dengan Allah, dan itu luar biasa. 

Kita akan bersentuhan dengan Tuhan, dengan perasaan-Nya, setiap saat. Di situ ada jalinan hubungan dengan Tuhan, dan itu luar biasa. Baru kita mengerti apa artinya kita tinggal dalam Dia dan Dia di dalam kita. Tidak abstrak. Kesucian dalam Kristen tidak bisa ditulis di atas buku sebanyak apa pun lembar buku itu, karena ini hanya bisa dirasakan oleh Allah dan orang tersebut. Maka, pada akhirnya, kehidupan rohani seseorang itu subjektif. Ada jalinan hubungan, dan kita tidak tahu selama ini bahwa kesucian dengan standar Allah akan mengondisi kita melekat dengan Tuhan. Dan dari hal ini, baru kita bisa merasakan bahwa Tuhan satu-satunya kebahagiaan kita. Baru kita bisa merasakan apa yang dikatakan pemazmur itu merasakan, “Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.”