Sangat-sangat sedikit orang yang benar-benar memperlakukan Allah Pencipta langit dan bumi sebagai Pribadi yang hidup, yang nyata, yang Maha Hadir. Sebab orang tidak berani menginvestasikan waktunya untuk benar-benar mengalami Tuhan. Jadi di mata banyak orang, Tuhan itu ada dan tidak ada. Mereka percaya Tuhan itu ada, tapi juga ragu-ragu. Jadi, antara percaya Tuhan itu ada dan tidak ada. Di dalam pikiran, karena sudah mendengar banyak dari berbagai sumber, percaya Allah itu ada, tetapi dia tidak memiliki keyakinan bahwa Allah itu ada. Ada kesenjangan antara apa yang dia pikirkan, yang dia rasakan dan tentu yang dia lakukan.
Yang dia pikirkan Allah itu ada, tapi hati tidak sanggup memercayai sepenuhnya bahwa Allah itu ada. Sehingga kelakuannya pun tidak menunjukkan bahwa ia yakin Allah itu ada. Memang, memercayai Allah itu ada bukan sesuatu yang mudah. Benar, tidak mudah. Dengan mulut kita mengaku bahwa Allah itu ada, dengan nalar kita berani menerima atau menyetujui bahwa Allah itu ada. Tetapi hati tidak bisa memercayai-Nya secara lengkap, penuh, bulat. Dan tentu perbuatan akan sangat terpengaruhi oleh sikap kita terhadap Tuhan.
Lalu bagaimana hati kita bisa memercayai Allah sepenuhnya? Kepercayaan kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dari kekudusan, kesucian hidup dan kesediaan kita menjadikan Dia satu-satunya kebahagiaan kita. Jadi, tidak dapat dipisahkan. Kalau orang tidak hidup benar-benar bersih, maka hati tidak akan sanggup memercayai dengan utuh dan bulat. Kalau hidup kita tidak benar-benar bersih, rasanya kita mau meyakini Tuhan itu, sulit. Ibarat terbang kita hanya sampai 5-10 meter dari tanah yang kita injak ini.
Tapi kalau hidup kita bersih, mempertahankan kesucian, kesempatan-kesempatan berbuat dosa tidak kita gunakan, belajar mengendalikan diri, mengendalikan emosi dan kalau kita gagal, kita datang minta ampun kepada Tuhan, lalu memulai lagi berjalan di dalam kekudusan Tuhan, dimana Roh Kudus pasti pimpin kita. Di situ kemampuan kita terbang memercayai Allah lebih tinggi. Kalau orang punya kesenangan-kesenangan dunia atau hatinya terikat dengan dunia ini, ia tidak bisa memercayai Allah.
Jadi kita bisa mengerti apa yang dikatakan Tuhan Yesus, “Bagaimana kamu percaya, jika kamu masih mencari hormat satu dengan yang lain?” Mencari hormat, jelas sikap atau langkah yang salah, dosa. Itu membuat kita tidak bisa memercayai secara utuh dan bulat keberadaan Tuhan. Ini sama dengan, kita tidak bisa minta perlindungan Tuhan dan yakin Tuhan akan melindungi jika kita masih tidak hidup benar, tidak hidup kudus, masih terikat dengan percintaan dunia. Lumpuh iman kita. Kita tidak bisa yakin kepada Allah yang hidup, Allah yang nyata. Jadi, sangat sedikit orang yang benar-benar memercayai bahwa Allah itu hidup. Sangat sedikit orang yang benar-benar memperlakukan Allah sebagai Allah yang hidup. Karena dunia kita sudah sangat-sangat-sangat gelap. Kejahatan di mana-mana. Bukan hanya dalam kehidupan orang yang tidak beragama, orang beragama pun tidak sungguh-sungguh hidup di dalam kekudusan.
Banyak orang Kristen yang tidak hidup bersih, hatinya masih terikat dengan dunia. Ia tidak sungguh-sungguh hidup dalam kekudusan, masih terikat dengan perkara dunia, ia tidak sanggup memercayai Allah yang hidup. Dan kalau orang tidak memercayai Allah yang hidup, perilakunya pasti rendah, artinya kualitas perilakunya pasti rendah. Jadi, kalau orang berkata, percaya Tuhan dengan mulutnya, belum tentu dia percaya kepada Tuhan dengan benar di dalam hatinya. Dari perilaku seseorang, dari perbuatan seseorang, nampak, apakah dia meyakini Allah yang hidup atau tidak.
Orang yang meyakini Allah yang hidup, dampaknya luar biasa, lebih dari dinamit, powerfull. Orang yang memercayai Allah itu ada, yang dibangun dari kesucian hidup dan tidak terikat dengan dunia ini, hatinya menjadi kuat. Jadi ketika kita berusaha untuk hidup suci, keyakinannya terhadap Allah yang hidup bertumbuh atau bertambah. Dan semakin kita berusaha hidup suci, semakin kita yakin bahwa Allah itu hidup. Dan kemudian kita terpengaruhi, tercengkerami oleh kehadiran Allah yang hidup. Kita akan terus makin meningkat kekudusan hidup, makin meningkat cinta kita kepada Tuhan, makin meningkat kesediaan kita hidup hanya untuk menyenangkan Tuhan, hanya untuk menjadi anak kesukaan Tuhan.
Kepercayaan kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dari kekudusan, kesucian hidup dan kesediaan kita menjadikan Dia satu-satunya kebahagiaan kita.