Skip to content

Kemutlakan

 

Di dalam 2 Timotius 3:12 tertulis, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.” Kata “beribadah” di sini tidaklah sama dengan pergi ke gereja semata-mata. Di dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang bisa diterjemahkan ibadah; latreia yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan melayani atau mengabdi. Itu bisa kita temukan di dalam Roma 12:1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu: persembahkanlah dirimu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: Itu adalah ibadahmu yang sejati.” Kata “ibadah” di 2 Timotius 3:12 dalam teks aslinya adalah eusebos yang artinya hidup suci, hidup saleh. Hidup saleh adalah suatu kemutlakan. Entah bagaimana, kata “hidup saleh” menjadi asing dalam kehidupan banyak orang Kristen. 

Hidup saleh sering diasumsikan sebagai hidup yang tidak dikenakan oleh banyak orang, tetapi hanya oleh orang-orang khusus; orang-orang yang sudah terbuang dari kehidupan manusia pada umumnya, atau pemimpin-pemimpin agama saja. Padahal, mestinya setiap orang itu hidup saleh. Tentu kesalehan yang dimaksud di sini adalah kesucian hidup sesuai dengan standar Allah. Kalau kesalehan bangsa Israel atau orang yang beragama samawi yang memiliki hukum-hukum yang tertulis, kesalehannya ditentukan oleh ketaatan kepada hukum. Kalau seseorang tidak didapati melakukan pelanggaran sesuai dengan hukum yang berlaku, lalu melakukan seremonial agamanya atau sembahyangan, begitu istilahnya, ke rumah ibadah, maka ia bisa dikategorikan sebagai orang saleh. 

Kesalehan hidup kita berstandar Allah sendiri. Orang saleh adalah orang yang tidak tercemari oleh pola dan gaya hidup manusia di sekitarnya. Dunia ini sudah jatuh, pola dan gaya hidup manusia jauh dari standar kesucian Allah. Firman Tuhan berkata, “Dan dunia ini akan binasa dengan segala keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah, yang sama dengan orang saleh, beroleh hidup yang kekal. Beroleh hidup yang kekal artinya memiliki kelanjutan hidup, bukan hanya sementara di bumi tetapi juga next life; di kehidupan yang akan datang. Orang saleh dengan kualitas hidup kesucian akan berlanjut nanti di kekekalan. Kalau orang tidak memiliki kesalehan hidup sejak di bumi, jangan berharap akan memiliki kelanjutan hidup di next life. 

Ini sama dengan yang dikatakan dalam Ibrani 12 sebagai perlombaan yang wajib untuk memiliki iman yang sempurna, seperti kehidupan yang dijalani oleh Yesus. Ingat, hidup kita hanya satu kali. Dan setiap kita harus menyadari bahwa waktu hidup kita ada saatnya nanti akan usai, artinya perjalanan hidup kita ada ujungnya. Jangan berpikir tidak ada ujungnya. Dan hidup ini memilih. Orang yang tidak memilih suatu keputusan, maka dunia akan memilihkannya untuk dia. Itu celaka sekali. Hidup kita sekali dan singkat, kita tidak tahu kapan berakhir. Hidup harus memilih. Kita harus terus memotivasi hidup kita sendiri untuk memilih hidup saleh. Artinya, memiliki kesucian hidup seperti kesucian Tuhan. 

Mengapa kita sering kali merasa dengan Tuhan tidak dekat, tidak lekat, seperti ada kesenjangan, lalu Tuhan seperti jauh? Sulit menjawabnya, sebab ini adalah hal yang bersifat pribadi. Ini juga bisa dikatakan supranatural atau adikodrati. Ketika kita merasa itu, sebenarnya sebuah sinyal bahwa kita masih jauh dari kesucian yang Tuhan kehendaki. Kita belum memiliki kesalehan seperti yang Allah kehendaki. Indikasi yang lain adalah adanya perasaan takut menghadapi sesuatu hal; takut menghadapi bahaya, takut menghadapi kematian. Indikator yang lain, orang yang belum memiliki kesalehan standar Allah, tidak memiliki kerinduan bertemu dengan Tuhan. Walaupun mulutnya menyanyi “seperti rusa merindukan sungai yang berair,” tapi belum ada klik, belum ada kehausan itu. Kehausan yang ada padanya adalah kehausan terhadap hiburan dunia dengan segala kesenangannya. 

Jadi apa yang harus kita lakukan? Jangan menunda. Kita harus mencari, memburu Tuhan dengan kehausan akan Allah. Dan kita sendiri yang harus membangkitkan kehausan itu di dalam diri kita. Karena ini pilihan. Cita rasa jiwa kita sudah rusak oleh pengaruh dunia sekitar kita. Kita harus merubah cita rasa jiwa kita, melalui proses tentunya, tidak dalam satu hari, tidak cukup satu bulan, bahkan tidak cukup beberapa tahun. Perlu waktu tahun-tahun yang panjang. Ketika seseorang memiliki kesalehan sesuai dengan standar Allah, pasti keindahan dunia menjadi pudar di matanya; ia tidak tertarik lagi dengan keindahan dunia. Oleh sebab itu, memilih untuk menjadi orang saleh, sama dengan memilih memisahkan diri dari dunia. Dan kita harus sungguh-sungguh menggunakan, mengerahkan semua potensi di dalam diri kita untuk itu. Karena menjadi dewasa itu perjuangan. Menjadi orang saleh itu perjuangan. Menjadi orang suci itu perjuangan.