Skip to content

Kematian Kedua

 

Mungkin kita sudah sering mendengar kalimat ini: “Pisahkan dirimu dari dunia,” sebagaimana tertulis dalam 2 Korintus 6:16–18: “Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku. Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan, demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa.”

Ayat ini ditujukan kepada kita untuk konteks hidup sekarang, di bumi ini, bukan nanti. Maka kita harus mengajukan pertanyaan serius: Apakah ayat ini benar-benar terealisasi dalam hidup kita? Bagaimana ciri kehidupan umat yang sungguh-sungguh dihadiri Allah, di mana Allah tinggal di tengah-tengah mereka, menjadi Allah mereka, dan mereka sungguh-sungguh menjadi umat-Nya?

Kita tidak boleh membiarkan hidup dalam keadaan gamang atau status quo. Kita harus benar-benar masuk dalam realisasi dari firman ini. Ada hal yang patut kita takuti: Allah memberi kita kebebasan, dan Ia tidak memaksa kita melakukan kehendak-Nya. Jika seseorang memilih sesuatu, dan memang itu pilihannya, Allah tidak akan mencegah. Sama seperti ketika Adam dan Hawa menghampiri pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat di taman Eden, padahal Allah sudah memperingatkan: “Jangan makan buah itu, sebab pada hari engkau memakannya, engkau akan mati.” Tetapi ketika mereka mendekati pohon itu, berdialog dengan ular—personifikasi kuasa kegelapan—Allah tidak menghalangi. Ia membiarkan.

Demikian juga kita. Sering kali kita sudah mendengar firman yang jelas mengarahkan kita untuk bertobat, tetapi tetap kita abaikan. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak menumbuhkan iman sering dianggap hal yang sepele, diberi label “kelemahan.” Padahal mestinya disebut “kejahatan.” Contohnya: tidak membaca Alkitab, mudah tersinggung, gampang marah, menonton film porno, bersikap genit, tidak jujur, masih duniawi. Itu bukan kelemahan, melainkan kejahatan. Sebab hal-hal itu membuat kita tidak bersekutu dengan Allah. Dan bila keadaan itu berlanjut sampai titik di mana Roh Kudus dihujat, Roh Kudus tidak lagi berkarya dalam hidup seseorang, atau sampai orang itu meninggal dalam keadaan demikian, ia akan mengalami kematian kedua: terpisah dari Allah untuk selama-lamanya.

Namun selama kita masih hidup, masih ada kesempatan. Kalau Tuhan memberi waktu untuk bertobat, berarti kita masih memiliki peluang untuk tidak mengalami kematian kedua. Pertanyaannya: Apakah saat ini kita sungguh dihadiri Allah dalam hidup kita? Apakah kita menyambut-Nya, menjadi umat-Nya, atau justru tidak peduli? Jika kita menganggap remeh, hidup sesuka hati, Allah tidak menghalangi. Dan ini mengerikan. Sebab tidak sedikit orang percaya—yang rajin ke gereja bahkan aktif dalam pelayanan—tetap hidup gamang, tidak jelas arahnya. Lebih ironis lagi, banyak gereja tidak menegur dengan tegas.

Karena itu, mari kita periksa hidup kita masing-masing. Masalahnya, kita sering tidak serius memperkarakan hidup ini karena merasa masih punya waktu, masih bisa berubah nanti. Padahal kita tidak tahu kapan akhir hidup kita. Kita harus sadar: Tuhan memberi kita kedaulatan pribadi. Ia tidak mengambil alih kedaulatan itu. Apa yang kita pilih dan tentukan hari ini, itulah yang akan mewarnai hidup kita—dan menentukan apakah kita akan mengalami kehidupan kekal bersama Allah, atau kematian kedua yang terpisah dari-Nya.