Harus diakui, ada masa atau saat kita mengalami kejenuhan dalam pelayanan, tetapi itu tidak kita sadari; baik sebagai ketua sinode, gembala sidang, aktivis atau jabatan apa pun. Semua kita jalani karena memang tugas yang sudah telanjur kita sandang, jabatan yang telanjur kita pikul. Akhirnya perjalanan hidup kita sebagai orang percaya, sebagai anak-anak Allah atau sebagai pelayan Tuhan, menjadi lesu. Dan pasti kecepatannya melambat. Firman Tuhan mengatakan, “Janganlah kerajinanmu kendor.” Ada kata spido yang berarti kecepatan. Jangan sampai kita terjebak dalam keadaan kelesuan karena jenuh yang tidak disadari. Dan itu bisa berkepanjangan sampai menjadi irama hidup, irama pelayanan, tanpa disadari.
Ini adalah bahayanya kalau orang sudah lesu, yaitu: yang pertama, dia pasti mencari kesenangan dunia. Dan selalu saja ada kesempatan dan sarana untuk itu; apa pun bentuknya. Sampai pada kesenangan dunia di dalam gereja. Pelayanan menjadi kesenangan duniawi, kebanggaan duniawi. Yang kedua, dosa. Mungkin bukan dosa moral. Bisa juga kesombongan yang terselubung, ketidaktulusan, hati yang tidak murni, dan lain sebagainya. Intinya, karakter Kristus tidak bertumbuh. Akhirnya, tidak sedikit gereja yang tetap menggulirkan pelayanannya dengan segala aktivitas, tetapi sebenarnya dia tidak menjuruskan pelayanan itu pada tujuan yang benar. Kesombongannya membutakan mata pengertiannya.
Orang seperti ini tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Dia mengalami perjumpaan dengan teologi, dan dia bisa asyik di situ. Jadi Tuhan yang dia pahami itu nyata, secara hologram; nyata tapi secara fantasi. Karena dia bisa merumuskan begitu teliti, bisa menjelaskan begitu detail. Dia bisa berargumentasi begitu kokoh. Tapi hologram, tidak bertemu Tuhan secara langsung. Menjadi seorang teolog hebat bagaimanapun, seorang pendeta dengan jumlah jemaat seberapa banyak pun, kalau buah hidupnya bukan buah Roh Kudus, pasti ia belum bertemu Tuhan. Tapi pada akhirnya kalau kita belajar kebenaran firman, maka kita akan menemukan puncak kedewasaan rohani, yaitu kebersatuan dengan Kristus. Sehingga kita sampai pada level: “yang kuingini Engkau saja.” Buah hidup kita akan nampak sebagai orang yang benar-benar tidak mencintai dunia, tidak mencari nilai diri. Tidak bisa tidak.
Namun jangan heran kalau akan ada orang yang memfitnah, mem-bully, mengancam kita. Dalam hal ini, hanya Tuhan yang bisa menolong kita. Kalau bukan Tuhan, kita tidak bisa utuh seperti hari ini. Tetapi kondisi seperti itu justru membawa kita kepada kompetisi tersembunyi, kompetisi terselubung: siapa yang menemukan Tuhan yang benar. Kalau Allah yang disembah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah yang hidup, baiklah kita temukan Dia. Dari hal ini, kita mencari Tuhan. Maka, supaya kita tidak menjadi lesu dari kejenuhan, ini yang harus kita cari.
Yang pertama, perjumpaan dengan Tuhan. Yang kedua, perubahan. Pelayanan kita mendesak orang untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Jemaat harus diarahkan untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Tetapi spirit untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan tidak akan tertransfer kalau kita sebagai pendeta tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Faktanya, ketika seseorang tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan, maka yang ada adalah kesombongan. Pengajaran bisa membuat orang cerdas, tapi belum tentu rendah hati. Teori kerendahan hati diberikan, tapi tidak sanggup dipikul tanpa perjumpaan dengan Tuhan.
Ketika di ujung maut, tanpa gembala sidang, tanpa pendeta, tanpa pendamping, setiap jemaat bisa berjumpa dengan Tuhan. Ini yang penting. Kita tidak bisa membagi kerinduan berjumpa dengan Tuhan, kalau kita sendiri tidak berjumpa. Jadi ada semacam frekuensi yang bisa kita pancarkan, tanpa bisa dibahasakan, tanpa bisa dianalisa oleh pikiran, yaitu frekuensi kerinduan atau kehausan menemukan Tuhan dalam perjumpaan pribadi. Sebab Tuhan tidak bisa dibatasi, Tuhan tidak bisa diikat di dalam yang namanya ilmu apa pun, nalar. Tidak mengecilkan teologi, tapi seseorang harus mengalami perjumpaan dengan Tuhan.
Perjumpaan dengan Tuhan membuat kita tidak bisa lesu, sebaliknya, kita akan bergairah. Tapi gairah ini tidak akan bisa dikenali orang yang tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Sepintar, sehebat apa pun orang itu, dia tidak akan bisa mengerti. Ini frekuensi yang tidak bisa dibaca dengan ilmu, tidak bisa dianalisa. Sebab pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan gembala sidang atau siapa pun, melainkan bertemu Tuhan secara pribadi.