Orang yang rendah hati adalah orang yang selalu merasa membutuhkan Tuhan dalam segala keadaan; apakah ia dalam keadaan nyaman, tenang, teduh, tidak bermasalah, atau sedang dalam keadaan bergejolak, kritis, krisis, dan banyak masalah. Ini sangat prinsip. Jadi, sebaliknya, orang yang sombong adalah orang yang tidak merasa membutuhkan Tuhan. Kalimat ini sederhana, tetapi sebenarnya tidak sederhana. Ada kompleksitas, ada kerumitannya di dalam hal ini. Merasa membutuhkan Tuhan itu bukan sesuatu yang mudah karena Tuhan tidak kelihatan, dan Tuhan sering menguji kita sebagai umat pilihan, seberapa kita memercayai dan tidak mencurigai Dia; yaitu ketika Tuhan membawa kita ke dalam keadaan-keadaan yang benar-benar kritis, krisis, dan seakan-akan Tuhan tidak ada.
Dalam sejarah kehidupan orang-orang yang dikasihi Tuhan, kita melihat fenomena ini. Misalnya, Abraham yang hampir seperempat abad menunggu anaknya lahir. Abraham juga menghadapi masa kekeringan, di mana dia diuji apakah dia akan kembali ke Ur-Kasdim atau tetap melanjutkan sebagaimana yang Tuhan perintahkan. Demikian juga Yusuf, ia dimasukkan ke dalam sumur gelap, kering, lalu dijual menjadi budak. Sebagai budak, ia dituduh hendak memperkosa nyonyanya, sehingga ia masuk penjara. Rasanya langit hidupnya rubuh, padahal TUHAN menjanjikan melalui mimpi bahwa Yusuf akan menjadi penguasa yang lebih besar dari ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Belum lagi bicara soal Musa, Daud, tokoh-tokoh iman yang dibawa Tuhan ke satu keadaan yang sering digambarkan sebagai padang gurun.
Jadi tidak mudah untuk dapat memiliki hati yang mengandalkan Tuhan, merasa membutuhkan Tuhan. Apalagi kalau kita melihat orang di sekitar kita menganggap Tuhan sepi, meremehkan Tuhan, tidak memperhitungkan Tuhan. Kesaksian hidup manusia di sekitar kita berbunyi: Tuhan tidak ada dan Tuhan tidak perlu ada. Tidak jarang Tuhan membelaskasihani kita—supaya kita tidak binasa—dengan memberi pukulan di mana dalam pukulan tersebut kita tidak melihat jalan keluar, kita tidak melihat pertolongan, kita tidak melihat orang yang berbelaskasihan dan membantu kita, kecuali Tuhan. Yang akhirnya kita dipaksa, digiring untuk memandang Tuhan, dan mencari Tuhan. Itu bentuk belas kasihan Tuhan.
Jadi, kalau Tuhan memukul kita, membawa kita kepada keadaan kritis, krisis, puncak kesulitan, atau yang sering orang bahasakan dengan titik terendah, sejatinya itu supaya kita memandang Tuhan ke atas. Tuhan itu sebenarnya tidak membutuhkan kita, tapi belas kasihan-Nya diberikan kepada kita supaya kita tidak lepas dari persekutuan dengan Dia, sebab lepas persekutuan dari Tuhan itu binasa. Ini bukan sekadar masalah sakit, lalu sembuh, bangkrut, lalu dipulihkan ekonominya, atau terpuruk, lalu sukses. Tuhan adalah kehidupan, bukan hanya kehidupan sementara kita di bumi, melainkan kehidupan dalam kekekalan. Tidak ada kehidupan di luar Tuhan, supaya jiwa manusia bisa merasakan kehausan akan Dia.
Jadi, kalau akhirnya kita membutuhkan Tuhan, itu bukan karena kita belum menikah, dalam problem ekonomi, atau karena kita mau diberkati untuk karier kita. Namun masalahnya, tidak banyak orang yang sampai pada kehausan di mana ia merasa membutuhkan Tuhan. Banyak orang yang jiwanya sesat, kehausannya itu kepada perkara-perkara dunia. Cita rasa jiwanya telah dirusak, disesatkan oleh Iblis, sehingga ketika membutuhkan Tuhan pun bukan karena Tuhan yang diharapkan dapat memuaskan dahaga jiwanya, namun supaya masalahnya selesai. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak setia kepada Tuhan. Tetapi hebat sekali Tuhan kita, sabar sekali Tuhan kita, Dia tuntun kita terus.
Kalau sampai kita bisa memiliki kehausan yang tulus, murni, dan utuh, maka kita pasti menjadi kekasih Tuhan. Kehausan kita akan Allah itu dinikmati oleh Tuhan. Jadi, kalau Tuhan hajar kita dengan pukulan, itu karena Tuhan mau kita berkiblat kepada-Nya. Namun, ada satu hal yang mengerikan, yaitu Dia tidak selalu memukul. Ada semacam tatanan dalam alam rohani bahwa Tuhan pun memiliki porsi untuk menegur seseorang, seberapa kuat pukulan itu, dan berapa kali itu. Bukan liar tanpa aturan. Makanya, kalau Tuhan peringatkan 1, 2, 3, 4, 5 kali, bisa kemudian, tidak diingatkan kembali. Mungkin badai hidup yang kita lalui benar-benar berat, tetapi akhirnya kita menemukan tujuan dari pada proses itu.
Kita punya hidup hanya sekali, jangan meleset. Kita harus memiliki perasaan mellow yang kudus, bukan mellow yang rentan jiwa, menjadi orang yang kuat menghadapi keadaan dunia seberat apa pun. Orang yang bisa menangis di kaki Tuhan pasti tidak akan menangis menghadapi dunia. Tapi orang yang menangis menghadapi dunia, tidak mungkin bisa menangis di hadapan Allah. Dan salah satu ciri orang yang bisa menangis di hadapan Allah adalah orang yang berani menghadapi dunia, berani memikul beban penderitaan orang lain.