Ketika suatu saat nanti kita ada di hadapan Allah, kita menyaksikan dan mengalami kekekalan yang dahsyat, baru kita bisa menghayati sepenuh-penuhnya betapa tidak berartinya kita ini; betapa lemahnya kita dan betapa rentannya kita. Tetapi Allah berkenan mengasihi kita dan menjadikan kita anak-anak Allah yang dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus. Itu luar biasa! Pada saat itu, ketika semua orang ada di hadapan takhta pengadilan Tuhan, orang akan mengalami kegentaran yang sangat hebat; ketakutan yang sangat hebat yang tidak bisa dibayangkan saat ini. Kegentaran yang tak terbayangkan, artinya orang harus mengalaminya sendiri barulah bisa mengerti kegentaran tersebut. Keadaan itu tidak bisa diceritakan, tetapi harus dialami. Kita harus belajar untuk merenungkan dan membayangkan betapa mengerikan keadaan itu, kalau kita tidak sejak saat ini membangun takut akan Allah.
Kita harus memberi waktu khusus untuk membayangkan hal itu dan merenungkannya. Sebisa-bisanya kita merenungkan dan menghayatinya dengan segenap hati. Kita dapat memiliki kegentaran yang patut terhadap Allah, walaupun kita belum ada di kekekalan. Jadi, walaupun kita belum meninggal dunia dan belum ada di situasi atau keadaan di hadapan takhta pengadilan Allah, kita sudah bisa menghayati sebagian. Hal ini akan membangun kegentaran yang kudus terhadap Allah dan kesungguhan dalam mempersiapkan diri menghadapi keadaan tersebut.
Salah satu bukti atau salah satu ciri kalau kita berhasil menghayati kedahsyatan kekekalan di hadirat Allah adalah ketika kita dapat memandang persoalan-persoalan hidup hari ini menjadi kecil. Persoalan-persoalan sebesar apa pun menjadi tidak berarti. Jadi, kalau kita sudah menghayati dan merenungkan kedahsyatan kekekalan, kita menemukan dan merasakan realita kehidupan yang sejati. Kita harus menguji diri kita masing-masing, seberapa kita benar-benar telah memiliki kegentaran akan Allah.
Kalau seseorang bisa merasa tercengkerami oleh suatu keadaan lebih dari cengkeraman kedahsyatan kekekalan di hadapan takhta pengadilan Kristus, maka pasti ada ketidaksetiaan di dalam hidup orang tersebut. Orang seperti itu pasti akan melecehkan atau meremehkan Allah. Oleh sebab itu, kalau tidak sejak dini menghayati hal tersebut, maka kita tidak akan berhasil menghayatinya sampai menutup mata. Bahkan ketika di ujung maut pun, tidak akan mampu menghayatinya. Barulah setelah di hadapan Allah, merasakan kegentaran yang dahsyat. Kita harus mulai menghayati hal ini sejak dini; sejak sekarang, dan kita harus mulai membangun takut akan Allah yang kudus. Takut akan Allah yang kudus mendorong kita untuk hidup kudus seperti Dia.
Ada dua berkat besar yang kita terima kalau kita benar-benar bisa menghayati kekekalan dan menghayati kedahsyatan di hadapan takhta pengadilan Tuhan itu. Berkat yang pertama adalah kita menjadi lebih berhati-hati dalam hidup ini atau menjadi sangat berhati-hati; kita akan lebih takut akan Allah. Yang kedua, kita bisa meninggalkan percintaan dunia. Selanjutnya, kita menjadi lebih tabah, lebih kokoh menghadapi segala situasi kondisi hidup yang berat dan sulit. Kita menjadi lebih bisa menerima keadaan. Kita dapat lebih mengerti bahwa segala sesuatu akan berakhir, dan kita akan ada di hadapan takhta pengadilan Kristus. Ini menjadi kekuatan kita.
Sebenarnya, kita lebih bisa menghayati kedahsyatan kekekalan melalui situasi-situasi hidup yang berat atau sulit. Tuhan bisa membawa kita kepada keadaan-keadaan yang sulit dimana kita dipaksa untuk bisa menghayati realitas kedahsyatan kekekalan di hadapan Allah tersebut. Ketika nama kita menjadi begitu buruk, banyak fitnah yang kita terima dan kita tidak tahu bagaimana membela diri, kemudian berdiam diri, hal tersebut menjadi berkat kekal. Keadaan tersebut membuat kita lebih memeriksa diri. Oleh sebab keadaan tersebut menjadi berkat, kita tidak perlu mencari pembelaan. Nanti di hadapan pengadilan Tuhan, baru akan terbuka siapa yang benar, siapa yang tidak. Sampai kita dibuat Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa; terkatup mulut kita, kita diam. Tetapi di situlah kita mulai merajut diri kita untuk hidup berkenan di hadapan Allah.
Kita harus menghayati kedahsyatan kekekalan, kedahsyatan keadaan di hadapan Tuhan setiap hari, walau hanya sejenak; beberapa detik atau menit. Hal ini kita lakukan agar kita dapat lebih berusaha jauh-jauh hari untuk berdamai dengan Tuhan secara benar, dan kita benar-benar hidup dalam kebenaran dan kesucian Allah. Jika ini kita lakukan, barulah kita bukan saja tidak takut menghadap takhta pengadilan Kristus tetapi kita mengharapkan segera ada di situ, karena di situlah kita dapat melihat hasil jerih lelah pengabdian dan pelayanan kita kepada Tuhan. Dari hal ini, kita bisa mengerti mengapa Paulus lebih merindukan pulang ke surga (2 Kor. 5:1-7).