Saudaraku,
Hampir tidak ada orang yang berani hidup tanpa memperoleh kebahagiaan dari dunia ini. Bagaimanapun dan dengan cara apa pun pada umumnya orang akan berusaha memperoleh sesuatu yang bisa dinikmati dalam hidup ini dari dunia dan manusia sekitarnya. Itulah sebabnya semua orang pasti pernah terjerat percintaan dunia; keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17). Hal ini sudah menjadi kodrat yang tidak bisa disangkal dan tidak bisa dihindari, yang melekat dalam kehidupan setiap insan. Fakta ini terjadi juga didorong suatu pemikiran—sadar atau tidak sadar—bahwa hidup hanya satu kali di dunia ini. Seakan-akan tidak ada lagi kehidupan yang sama seperti di dunia ini setelah kematian. Itulah sebabnya semua orang tidak mau kehilangan kesempatan untuk “hidup” di bumi dengan cara dan keadaan yang sama yang dimiliki orang lain.
Setelah kita mendengar Injil seharusnya kita memiliki pemahaman yang berbeda dengan mereka. Kita tahu bahwa dunia ini bukan satu-satunya dunia yang manusia arungi. Masih ada dunia atau bumi lain yang Tuhan sediakan bagi kita (Yoh. 14:1-3). Dunia atau bumi kita sekarang ini bukanlah bumi ideal yang dikehendaki oleh Allah. Ini adalah bumi yang sudah rusak, produk gagal oleh karena manusia itu sendiri yang tidak bertanggung jawab atas anugerah yang diberikan kepadanya. Dengan pengertian ini maka kita tidak mengharapkan lagi kebahagiaan dari dunia ini. Kita hidup untuk dipersiapkan masuk dunia lain, yaitu langit baru dan bumi yang baru dimana tidak ada dosa dan air mata duka cita.
Namun, kekristenan bukan agama untuk orang kebanyakan, artinya bahwa kekristenan adalah jalan hidup yang hanya bisa dikenakan oleh segelintir orang yang tidak berharap kebahagiaan hidup di dunia. Dan memang kebahagiaan dunia sangat terbatas. Maka, jika untuk hal yang bersifat temporal atau bernilai sementara tetapi harus mengorbankan yang abadi, adalah suatu kebodohan. Tidak berharap kebahagiaan hidup di dunia bukan berarti tidak bahagia, justru Tuhan akan menggirangkan kita dengan segala hal yang ada pada kita. Memang pada dasarnya kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang.
Saudaraku,
Ketika seorang penduduk desa bisa memiliki sebuah sepeda yang dapat membawa kayu bakar dari rumah ke pasar untuk dijualnya, hal itu sudah sangat membahagiakan. Sebaliknya, ketika seorang pengusaha di kota besar bisa membeli mobil mewah tetapi ia tidak merasa puas, maka mobil mewahnya tidak membahagiakan hatinya. Kebahagiaan tergantung cara seseorang memandang hidup. Kalau cara pandang hidup sudah salah, menganggap yang dapat membahagiakan hatinya adalah sesuatu yang menjadi target, maka ia akan diperbudak oleh sesuatu itu.
Sejatinya, penduduk desa tersebut sebenarnya juga diperbudak oleh sepeda, karena sepeda itulah yang dapat membahagiakan hatinya. Untung hanya sepeda yang kekuatan sosial ekonominya rendah. Kalaupun ada korban, kecil korbannya. Bagaimana kalau targetnya adalah pesawat pribadi, kapal pesiar, rumah mewah dan lain sebagainya yang memiliki kekuatas sosial ekonomi besar, maka akan makan korban dalam jumlah yang lebih besar juga. Manusia yang sudah terbelenggu oleh filosofi hidup yang salah akan terus terbelit oleh filosofinya tersebut sampai ia membunuh dirinya sendiri dan membunuh banyak orang. Orang seperti ini tidak dapat mengikut Tuhan Yesus.
Selama orang masih berharap bahwa dunia bisa memberikan hidup yang lengkap, utuh, bahagia, aman dan nyaman, maka ia tidak akan pernah mengenakan kekristenan yang sejati. Kekristenan yang dikenakan pasti palsu. Tetapi inilah kodrat manusia pada umumnya. Hal ini diwariskan oleh orang tua kepada kita dan yang kita serap dari lingkungan sekitar. Kurban Tuhan Yesus di kayu salib hendak menebus kita dari cara hidup yang salah ini (1Ptr. 1:18). Cara hidup yang benar adalah menyiapkan akal budi, tetap waspada, tidak mengikut jalan dunia, dan meletakkan pengharapan seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepada orang percaya pada waktu penyataan Yesus Kristus (1Ptr. 1:13). Itu berarti, lebih dari menggumuli pencapai segala hal yang diharapkan dapat membahagiakan diri, seorang anak Tuhan harus hidup dalam ketaatan kepada Allah Bapa dan menjadi kudus dalam seluruh kehidupannya (1Ptr. 1: 14-16).
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Adalah suatu kebodohan jika untuk hal yang bersifat temporal atau bernilai sementara namun kita harus mengorbankan yang abadi.