Skip to content

Keberanian Memilih

 

Pelayanan tidak dimulai dari sekolah teologi. Tidak ada yang salah dengan sekolah teologi, tetapi itu bukan syarat utama untuk melayani Tuhan. Syarat utama pelayanan adalah mengalami Tuhan — memiliki persekutuan dalam penderitaan-Nya, turut menderita seperti Dia menderita. Hidup hanya bagi Allah Bapa, bukan bagi dunia. Ketika seseorang telah sampai pada tingkat ini, itu adalah hasil dari pilihan sadar. Sebab kalau hanya menjadi Kristen, tidak perlu memilih apa pun. Tetapi jika kita percaya kepada Allah, maka kita harus menjaga perasaan-Nya. Allah bukan hanya Allah yang tertulis dalam Alkitab; Ia hidup dan menghendaki agar kita mengerti pikiran serta perasaan-Nya dalam konteks hidup kita masing-masing. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mewujudkannya?

Ketika kita masih memiliki kesenangan-kesenangan yang membuat kita kurang menghormati Tuhan, yang tidak berguna bagi sesama dan hanya memuaskan diri sendiri, maka semua itu harus kita tanggalkan. Itulah cara kita “memancung” diri sendiri — menyangkal diri. Artinya, kita berani mengkhianati keinginan daging kita sendiri demi kehendak Allah. Kita tidak dapat memilih salib kita sendiri, sebab bagian pelayanan yang harus kita pikul telah ditentukan oleh Allah, Dialah yang menunjukkan dan memberikannya, bukan kita yang memilih. Sering kali orang lebih suka memilih bentuk pelayanan yang nyaman baginya. Padahal, sebelum sampai pada pelayanan yang sejati, seseorang harus lebih dulu belajar mengerti kehendak Allah, memiliki kecerdasan rohani, dan melakukannya dari hari ke hari. Setelah itu barulah Tuhan akan membimbingnya masuk ke dalam proyek-proyek ilahi — tugas-tugas surgawi yang dipercayakan secara pribadi kepada setiap orang percaya.

Ironisnya, banyak orang tidak memiliki perasaan krisis terhadap dunia ini. Seharusnya kita seperti Nuh, yang memiliki perasaan krisis terhadap zaman dan mendedikasikan hidupnya untuk membangun bahtera, meskipun diejek oleh masyarakat. Bukankah setiap kita akan mati dan berhadapan dengan kekekalan? Lalu mengapa kita tidak mengarahkan seluruh hidup untuk berprestasi bagi Allah? Ia pasti datang kembali dan membangun Kerajaan-Nya. Tuhan rindu hati kita hancur oleh kasih kepada-Nya, hingga kita dapat berkata dengan tulus, “Tuhan, apa pun yang Engkau kehendaki untuk kulakukan, akan kulakukan.” Ketulusan seperti itu sudah menjadi persembahan yang harum di hadapan-Nya, apalagi bila diwujudkan dalam tindakan nyata.

Sering kali Tuhan membawa kita ke dalam keadaan-keadaan sulit, tetapi di balik setiap kesulitan itu sesungguhnya Tuhan sedang menguji hati kita — seberapa besar kita mengasihi Dia dan seberapa rela kita menjadi “anggur tercurah” serta “roti terpecah.” Kadang kita menjadi frustrasi, merasa Tuhan seolah tidak menolong pelayanan kita atau menahan berkat-Nya. Tetapi sesungguhnya, melalui semua itu, Ia sedang mendewasakan kita. Seperti gereja mula-mula yang mengalami aniaya hebat, justru penderitaan itu memurnikan iman mereka. Kini kita lebih mengerti, bahwa ketika menghadapi keadaan sulit, kita dapat memiliki keyakinan bahwa Allah mengontrol segalanya dan mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia.

Dalam Filipi 3:10 Paulus menulis, “…di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.” Artinya, Yesus Kristus mati untuk kemuliaan Bapa. Seluruh hidup-Nya diabdikan bagi kehendak Bapa di surga. Karena itu, jika kita tidak mulai berubah sekarang, maka kita tidak akan pernah bisa berubah. Mungkin kita bukan orang jahat atau tidak bermoral, tetapi tanpa nafas jiwa Kristus di dalam diri kita, hidup ini menjadi hampa secara rohani. Di sinilah dibutuhkan keberanian untuk memilih.

Pilihan itu bukan keputusan sesaat, melainkan keputusan yang diperbarui setiap hari. Sejak kita membuka mata di pagi hari, setiap tindakan kita adalah pilihan: apakah kita mengarahkan pikiran kepada Kerajaan Surga atau kepada dunia? Orang percaya sejati seharusnya hanya mengarahkan hidupnya pada Kerajaan Allah. Karena itu, kita harus memilih untuk “berkemas-kemas,” mempersiapkan diri bagi panggilan surgawi.

Mari kita berubah. Fokuskan seluruh hidup hanya kepada Kerajaan Allah. Itu pilihan. Kita mau menjadi manusia hari ini yang hidup bagi dunia, atau manusia hari esok yang hidup bagi kekekalan? Tuhan Yesus berkata dalam Matius 6:21, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Kita harus mengakhiri pola hidup yang hanya mengejar kewajaran duniawi. Kelihatannya sederhana, tetapi sesungguhnya tidak mudah. Kita harus memilih, dan pilihan itu harus diperbarui setiap hari. Jangan menunda, sebab menunda berarti menolak.

Jika hari ini Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk mendengar firman dan memperbaiki diri, pujilah Tuhan! Tetapi bila kesempatan itu telah lewat, itu bahaya besar. Karena itu, selagi masih ada waktu dan nafas hidup, ambillah keputusan hari ini juga — memilih Kristus sebagai satu-satunya tujuan hidup.