Saudaraku,
Kisah Yudas menunjukkan kepada kita bahwa jabatan kerohanian tidak serta merta membuat seseorang kebal terhadap dosa. Yudas adalah seorang calon rasul, jabatan yang sangat tinggi. Kedekataannya dengan Tuhan dalam aktivitas sehari-hari tak bisa dipungkiri, namun tak menjamin. Zaman sekarang ini, ternyata tak kurang panjang barisan orang-orang yang mengikut jejak Yudas. Mereka adalah barisan panjang penjual Tuhan Yesus. Kini, tak sedikit orang yang sangat bernafsu menabikan atau merasulkan diri, atas nama ketetapan Tuhan. Tak pula kurang orang berjual beli kebenaran, dimana mereka menjual Yesus dengan memutarbalikkan kebenaran.
Kebenaran dibuat berpusat pada diri sendiri dan menguntungkan diri. Khotbah disampaikan untuk menyenangkan telinga umat, khususnya kaum berduit, untuk memancing duit mereka. “Hamba Tuhan” bajunya, hamba uang hatinya. Istilah ‘salesman Injil’ semakin hari semakin terkenal, seturut terkuaknya gaya hidup banyak ‘pendeta besar’ yang tak kalah dengan selebritis kelas atas. Banyak orang telah mengambil keuntungan besar dengan mengobral Yesus. Celakanya, semua berjalan tepat waktu, karena market juga dipenuhi manusia bermental hati ahli Taurat. Yang mau tampak benar di arena keseharian, tampak rohani, bersih dan berbudi, sekalipun mereka benci terhadap kejujuran dan kesucian.
Karena itu “obral kebenaran” mereka serbu. Mereka suka mengonsumsi produk obral ini, mereka tampak rohani tanpa harus sungguh-sungguh rohani. Cukup dengan kata ‘amin,’ sedikit kegiatan, dan besarnya sumbangan, maka semua menjadi benar dan “dipakai Tuhan” sesuai label yang diberikan; “hamba Tuhan.” Transaksi jual beli terus meninggi, limpahan materi mengalir deras ke pundi-pundi “hamba Tuhan” tersebut. Gaya hidup supermewah mewarnai sepak terjang mereka atas nama berkat Ilahi, padahal hasil menjual kebenaran.
Yesus dijual dengan mengobral berkat besar, dan menutup diri terhadap penyangkalan diri, apalagi memikul salib. Ya, Yesus dijual dengan mengorupsi dan memanipulasi kebenaran, bahkan membangun kebenaran baru atas nama ‘wahyu baru.’ Maka klaim diri semakin meninggi, dan ini akan diikuti dengan “harga jual diri” yang juga semakin tinggi. Namun, lagi-lagi Yesus terjual murah. Dosa akan pesta pora, sukses menggaet banyak pengikut.
Akankah kita pencinta Suara Kebenaran sejati dapat bertahan di tengah polusi jual beli Yesus? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan hidup menjalani kebenaran tanpa kompromi. Berani miskin tanpa harus memiskinkan diri, sebaliknya juga berani kaya tanpa harus memperkaya diri, melainkan berkarya penuh dengan pasrah penuh pada berkat Ilahi. Apakah “jual beli Yesus” akan berhenti? Sekali lagi tidak, dan tidak akan! Transaksi akan terus berlangsung, tetapi yang penting kita tak terlibat di sana. Atau, jika sudah terjebak ada di dalam, segera keluar memisahkan diri, jika tak ingin hangus diri. Tapi, semoga Anda dan saya bukan penjual ataupun pembelinya.
Kesempatan Paskah adalah kesempatan yang indah bagi kita untuk mengintrospeksi diri dan menata hati kita kembali. Ada kalanya kita tidak sadar bagaimana dan apa yang ada dalam diri kita, tetapi jika kita mau membuka hati dan mengizinkan Roh Kudus bekerja, maka Ia akan membentuk kita menjadi pengikut-Nya yang setia. Namun tentu ada harga yang harus kita bayar; “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24).
Kita dipanggil untuk mengikuti jejak Yesus. Ketika menjadi manusia, Ia merangkul erat-erat salib-Nya, sehingga Dia mengalaminya sepenuh-penuhnya getirnya penderitaan manusia. Teladan Kristus yang mati untuk kita, kaum pendosa, mengajar kita bahwa kita harus memikul salib, yang dipanggulkan pada bahu semua orang yang mengaku sebagai pengikut-Nya. Mungkin saat ini kita sedang merasakan beratnya salib yang harus kita pikul, mari kita arahkan mata rohani kita pada Kristus, yang dengan tekun memikul salib itu sampai akhirnya Ia meraih kemenangan. Memang tidak mudah, namun dengan kesetiaan dan ketekunan, maka kita akan sanggup. Matius 11:29-30, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Di tengah polusi jual beli kebenaran, kita harus menjawabnya
dengan hidup menjalani kebenaran tanpa kompromi.