Orang yang memiliki hati yang bersih atau tulus, ditandai dengan tidak melukai atau mengupayakan penderitaan dan kerugian orang lain, baik di depan maupun di belakang orang tersebut. Kebalikan dari orang yang tidak tulus, kita dapati dalam Mazmur 73:6-8, “Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan. Mereka meluap-luap dengan sangkaan. Mereka menyindir dan mengata-ngatai dengan jahatnya, hal pemerasan dibicarakan mereka dengan tinggi hati.” Kata “pemerasan” dalam teks aslinya adalah osheq (עשֶׁק), yang artinya tekanan atau tindasan. Tuhan Yesus mengajar kita memiliki ketulusan yang standarnya sempurna seperti Bapa dengan pernyataan, “Kasihilah musuhmu, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan ketika pipimu yang sebelah kanan ditampar, beri pipi yang sebelah kiri.” Maka, jangan kita anggap remeh, karena ini menentukan keselamatan kita.
Jadi, orang yang tulus hati pasti mengupayakan kebaikan bagi orang lain. Itulah sebabnya orang tulus di Mazmur 73:15 mengatakan, Seandainya aku berkata: “Aku mau berkata-kata seperti itu,” maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu. Maksud pernyataan orang tulus ini adalah kalau ia menolak didikan Allah atau bahkan menyalahkan Allah, maka tidak ada warisan yang baik bagi generasi berikut. Tidak ada berkat bagi orang di sekitarnya. Maka, ia berusaha menerima penderitaan yang ia alami sebagai cara Allah memperindah karakternya. Sehingga, kehidupannya dapat menjadi berkat, dan pengenalan akan Allah yang benar dapat dilestarikan atau diwariskan bagi generasi mendatang, walaupun pemazmur ini pada mulanya berkata, “Percuma aku mempertahankan hati yang bersih, percuma aku tulus.” Dengan demikian, orang yang tulus dapat memperkenalkan siapa dan bagaimana Allah yang benar itu. Kalau hari-hari ini kita sering melihat, mendengar orang Kristen menyanyi: “Allah sungguh baik, sangat baik,” baik yang bagaimana?
Jangan sampai kita salah memandang Allah kita. Sebab, seseorang tidak akan bisa menyembah Allah kalau hidup sehari-harinya tidak kudus, tidak berkenan di hadapan Allah. Dia pun pasti salah memahami Allah. Jangan berpikir kalau seseorang hartanya banyak, pertanda diberkati. Belum tentu. Tetapi selama ini kalau orang memiliki kelimpahan harta, sukses dalam karier, dalam jenjang kepangkatannya, lalu orang berkata, “dia orang yang diberkati,” penekanannya pada berkat jasmani, dan itu sudah membudaya. Konsep banyak orang Kristen begitu, dan ini sesat sebenarnya. Orang yang tulus juga memiliki beban bagi keselamatan jiwa orang lain. Itulah sebabnya, orang yang tulus memiliki kepedulian terhadap orang lain. Perjalanan hidup orang-orang seperti ini, yang peduli terhadap orang lain, pasti memuat jejak Tuhan. Mestinya atau seharusnya, setiap kita sungguh-sungguh ber-Tuhan; dimana kita memiliki pengalaman dengan Tuhan, yang di dalamnya menunjukkan siapa dan bagaimana Allah kita.
Kenyataannya, banyak orang yang terkesan atau seakan-akan membela Tuhan dengan berdebat, seakan-akan membela ajaran Kristen. Dalam perdebatannya, mereka tidak memancarkan kelemahlembutan. Bisa jadi didorong oleh kemarahan dan sakit hati, karena Tuhan Yesus dan Alkitab dinista. Bukan tidak boleh membela iman Kristen. Namun, pembelaan kita kepada Tuhan itu adalah ketika kita memancarkan kehidupan pribadi Allah. Maka, seharusnya setiap kita memiliki cerita kehidupan, yang di dalamnya jejak Tuhan dapat dilihat oleh orang di sekitar kita dan diwariskan kepada anak cucu kita. Seperti misalnya sejarah hidup Nuh yang taat kepada kehendak Allah, sehingga meluputkan anak cucunya dari bencana, sekaligus mewariskan teladan kehidupan iman. Jadi, orang melihat jejak Tuhan dalam hidup kita, keturunan kita melihat jejak Tuhan dalam hidup kita.
Hal ketulusan menunjuk kepada keadaan batiniah secara individu yang berkualitas baik. Keadaan batiniah ini bersumber dari diri sendiri karena kehendak bebasnya. Tentu saja hal ini terbangun dalam waktu yang lama, yaitu ketika seorang anak manusia selalu merespons tuntunan Tuhan, sehingga membangun hati yang tulus. Dengan demikian, hati yang tulus bukanlah karunia, melainkan buah kehidupan seseorang. Dalam hal ini, bukan Tuhan yang menetapkan dan membuat seseorang bisa menjadi tulus, sementara yang lain tidak tulus. Tetapi, masing-masing individu membangun dirinya sendiri, dan ini dalam waktu perjalanan hidup yang panjang. Pikiran dan perasaan kita akan melahirkan kehendak. Maka, cantik atau tidaknya; hina atau tidaknya wajah kita, tergantung dari ketulusan. Jadi ayat yang mengatakan, “Allah baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya,” menunjukkan bahwa Allah bersikap terhadap seseorang, tergantung dari sikap orang itu terhadap Allah. Dengan kata lain, Allah bertindak sesuai dengan respons masing-masing individu (2Sam. 22:25-27, “Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia, terhadap orang yang tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela, terhadap orang yang suci Engkau berlaku suci, tetapi terhadap orang yang bengkok Engkau berlaku belat-belit”).
Seharusnya setiap kita memiliki cerita kehidupan yang di dalamnya jejak Tuhan dapat dilihat oleh orang di sekitar kita dan diwarisi kepada anak cucu kita.