Kapan, bilamana, dan bagaimana seseorang masih mencintai dirinya sendiri? Yaitu ketika ia membiarkan adanya keinginan yang bukan dari Allah di dalam dirinya. Orang yang belum atau tidak melepaskan diri dari keinginan-keinginannya, tidak bisa merdeka dari dirinya sendiri. Tapi, kalau kita sungguh-sungguh mau, kita bisa. Dan ini adalah anugerah besar dari Tuhan, karena kita dituntun Tuhan untuk bisa mencapai hal ini. Firman Tuhan mengatakan, “Kamu harus sempurna seperti Bapa di surga.” Jadi, sesungguhnya, kita bisa sempurna. Kalau seseorang melepaskan dirinya dari dirinya sendiri, atau merdeka dari dirinya sendiri, pasti bisa sempurna seperti Bapa. Kalau tidak, masih bocor. Jadi, jangan sombong. Kita ini bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.
Urusan kita yang pertama: kita harus merdeka dari diri kita sendiri, sembari kita mengajak saudara-saudara untuk merdeka dari diri sendiri. Nanti kita akan lepas dari liarnya pikiran, sifat pelit, jahat, dan kelicikan hati kita. Sekarang banyak orang Kristen yang belum, bahkan tingkat ikatan manusia lamanya masih sangat kuat. Mungkin sampai mati mereka tidak sempat merdeka dari diri sendiri, karena mereka terlambat mendengar, atau terlambat berjuang. Ironisnya, hal itu bukan hanya terjadi atas jemaat, tetapi juga atas para pendeta, dosen Sekolah Tinggi Teologi, istri-istri pendeta, atau ibu-ibu gembala yang belum merdeka dari dirinya sendiri.
Maka, jangan main-main dengan diri kita sendiri yang harus kita merdekakan. Seperti meregang nyawa, waktu kita melepaskan diri dari diri sendiri, merdeka dari diri sendiri—itu berat sekali. Kita harus berjuang. Kalau kita bisa merdeka dari diri sendiri—terutama kalau kita adalah seorang hamba Tuhan—maka urapan Roh Kudus mengalir tanpa dipaksa. Kita akan menemukan hal-hal baru dari hati Tuhan. Namun, kita harus menjaga kekudusan hidup. Jangan ada satu kata pun yang tidak patut diucapkan. Yang pahit, pedih, rasa dikhianati—malah dia nikmati itu.
Maka, seiring perjalanan waktu, firman-Nya harus lebih keras. Pengalaman hidup makin menggigit, makin menyakitkan. Itu finishing-nya begitu. Kalau kita melihat orang yang keadaannya baik-baik, ekonominya baik-baik, semuanya running well—apakah itu berarti dia diberkati Tuhan? Belum tentu. Jangan-jangan dia dijebak dalam kenyamanan dan tidak pernah merdeka dari dirinya sendiri. Nanti kalau meninggal dunia, baru tahu betapa buruknya wajah orang-orang itu (Mazmur 73).
Yang kedua, penting sekali—terkait hal ini: jangan mengingini apa pun selain Tuhan. Sampai kita merasa bahagia ketika kita ingat, “aku punya Elohim Yahweh.” Betapa bersemangatnya kita berdoa, menyembah, beribadah, mendengarkan firman yang murni. Tidak apa-apa kalau kita miskin—tidak masalah—asal kita merdeka dari diri kita sendiri. Karena kalau kita merdeka dari diri sendiri, wajah Tuhan ada dalam wajah batiniah kita. Tinggalkan kesenangan-kesenangan dunia, nafsu-nafsu—tinggalkan. Kita seperti mencabut duri. Waktu dicabut, sakit. Tapi kita merdeka. Dan Tuhan sering “mengoperasi” kita dengan persoalan.
Persoalan-persoalan itu merupakan operasi Tuhan untuk mencabut duri-duri dalam diri kita. Itu adalah manusia lama kita yang harus dicabut. Jadi, kita hanya menunggu waktu pengadilan Tuhan. Pada waktu itu, setiap kita akan mendapatkan apa yang patut kita terima. Sakitnya mengiring Yesus, itu di sini. Matius 16:24: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Ini yang namanya menyangkal diri. Bukan sekadar bertarak (tidak menikah) atau tidak memakai pakaian bagus. Bukan sekadar begitu. Melainkan meninggalkan semua naluri kemanusiaan, supaya bisa mengenakan Kristus.
Maka, kalau kita mau ikut Yesus, kita harus menyangkal diri supaya Yesus bisa tinggal di dalam kita. Dan memang, kalau kita ditebus, kita bukan milik kita sendiri.