Kalau kita benar-benar menghormati Tuhan dan menjadikan Tuhan itu segalanya, maka kita melakukan segala sesuatu pun demi Tuhan. Kalaupun kita bertemu teman dan lain-lain, itu juga dalam rangka bagaimana kita menyenangkan Tuhan. Sehingga barulah kita bisa memenuhi apa yang dikatakan Tuhan: “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua itu untuk kemuliaan Allah.” Jadi, kalau orang melihat kehidupan kita hari ini yang aneh menurut mereka, itu karena kita melihat kritisnya kehidupan dunia ini. Dari kritisnya kehidupan itu, kita memiliki perasaan krisis. Seperti seorang penjahat yang dikejar polisi, dia akan lari sekencang mungkin bahkan masuk ke jalan yang melawan arus. Apa pun dia lakukan agar tidak tertangkap polisi. Kenapa kita tidak lari dari kejaran dosa dan kejaran pengaruh dunia?
Sejujurnya, kita mungkin punya pergumulan seperti pemazmur ini; “Di mana Engkau, ya Allah? Engkau seperti tidak nyata, Tuhan.” Kita masih belum puas dengan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Mestinya lebih dari sekarang, sampai kita pun bertanya, “Bagaimana Daud bisa berdialog dengan Engkau? Sebelum maju berperang pun ia bertanya, apakah ia harus mengejar musuhnya atau tidak.” Kalau Allah itu hidup, nyata, hadir, mestinya kita alami. Jawabannya adalah Tuhan mau kita mencari-Nya dengan segenap hati dan sabar. Tuhan menguji ketekunan kita, sebagaimana Tuhan memberi anak untuk Abraham yang harus menunggu seperempat abad. Sampai pada titik tertentu, kita harus berani beracara dengan Tuhan.
Ayub dilanda masalah yang begitu berat. Dia bisa bingung melihat tindakan Tuhan terhadap dia. Dia sudah menaikkan korban setiap pagi untuk anak-anaknya, kalau-kalau mereka berbuat dosa. Namun, Tuhan mengizinkan semua anaknya mati dan hartanya habis. Dia sendiri kena penyakit kulit, barah, sampai dia duduk di atas abu, memakai beling untuk menggaruk. Istrinya tidak mendampingi dia, paling tidak menjadi pelipur lara, malah berkata, “Kutukilah Allahmu dan setelah itu, matilah kau.” Sampai Ayub mengucapkan, “Kamu bicara seperti perempuan gila.” Di dalam percakapannya dengan para sahabatnya, Ayub berkata, “Kujaga mataku dari perempuan muda, aku jaga hidupku dari dosa. Aku tidak mengerti kenapa Engkau buat aku begini, Tuhan. Kiranya tidak ada malam di mana aku dilahirkan.”
Ayub mengutuki hari lahirnya. Namun pada akhirnya Ayub berkata, “Kutarik semua perkataanku.” Jangan kita anggap Tuhan itu murahan atau gampangan. Jadi, kita mencari Tuhan sampai satu titik di mana kita harus berani beracara, yang pertama kita pertanyakan, “Masih ada salahkah yang kulakukan?” Kedua, “Aku bersedia tidak punya keinginan, hobi, atau apa pun. Aku hanya ingin menyenangkan Engkau.” Yang ketiga, “Apa yang ada padaku yang belum kuserahkan? Beri tahu, aku serahkan.” Jadi betapa rumit mengalami Tuhan itu. Tapi Tuhan pasti makin hari menambahkan ketebalan kehadiran-Nya, sampai kita tidak bisa berbuat dosa, sampai tidak ada ketakutan sama sekali, sampai cinta kita bulat terhadap Tuhan, sampai takut kita akan Allah utuh dan hormat kita setinggi-tingginya. Itu melalui proses.
Sekarang masing-masing kita bertanya, seberapa ketebalan kehadiran Tuhan dalam hidup kita? Kalau kita tidak membutuhkan Dia secara benar, maka nanti ketika kita bertemu Tuhan yang begitu agung dan mulia, baru kita menyesal karena kita tidak sepenuhnya menghormati Dia. Maka kita harus nekat untuk mencari Tuhan, lebih kuat dari rasa kantuk kita; sampai ketika kita berlutut, rasa kantuk kita jadi hilang. Sejujurnya, kita kurang sungguh-sungguh karena kita lebih mementingkan banyak hal.
Hal ini tidak membuat kita jadi tidak bekerja atau jadi malas. Karena ketika kita bertemu Tuhan, maka kita menjadi manusia seutuhnya. Monyet tidak belajar jadi monyet karena monyet pasti punya habitat dan standar yang permanen, tapi manusia harus belajar jadi manusia. Bagaimana menjadi manusia yang sepatutnya? Dan manusia yang sepatutnya itu manusia yang melekat dengan Penciptanya. Jadi, sebenarnya yang kita butuhkan itu hanya Tuhan. Jangan sombong. Cepat atau lambat, kita pasti mati. Tuhan adalah jawaban semua kebutuhan kita, maka temui Dia. Dan Tuhan berjanji, “Kalau kau mencari Aku, kamu akan menemukan Aku.”
Maka, ada saat-saat di mana kita meditasi, kita masuk kawasan di mana ada suara Tuhan di situ. Dan itu kita latih. Jangan merasa puas dengan kekristenan kita hari ini. Kalau kita belum sampai mendengar suara Tuhan, jangan berhenti mencari Tuhan. Kalau kita belum dengar suara Tuhan namun kita berhenti, suara siapa yang kita dengar?