Skip to content

Jaminan yang Terjamin

 

Kita yang memiliki anak atau bawahan, pasti tahu siapa anak atau bawahan yang setia dan mengasihi dan menghormati serta setia kepada kita sebagai orang tua atau pimpinannya. Demikian pula Bapa, Ia tahu dan merasa, siapa anak-anak-Nya yang sungguh-sungguh mengasihi dan menghormati Dia. Bapa tahu, karena Bapa merasakan itu, siapa anak-anak-Nya yang mengasihi Dia dengan tulus, menghormati diri-Nya dengan tulus, yang sungguh-sungguh setia kepada-Nya. Kalau Allah memiliki perasaan, mengapa kita tidak berusaha menyentuh perasaan Allah, dengan sikap, dengan langkah-langkah kita yang positif? Mengapa kita tidak mengukur, apakah tindakan kita dirasakan Allah sebagai kecintaan, penghormatan dan kesetiaan yang tulus kepada-Nya? 

Tidak ada kehidupan di luar Tuhan, tidak ada kebahagiaan di luar Tuhan sebab hanya di dalam Tuhan ada kehidupan, hanya di dalam Tuhan ada kebahagiaan. Tuhan bukanlah suatu benda yang tidak berperasaan, Dia adalah Pribadi yang berperasaan. Mengapa kita tidak berusaha untuk memiliki langkah-langkah yang konkret, yang sengaja kita lakukan untuk bisa menyukakan hati Allah? Sehingga Allah tahu, “Anak-Ku ini hormat dan setia terhadap-Ku, anak-Ku ini mengasihi Aku.” Allah menikmati kesetiaan dan hormat serta cinta kita kepada-Nya. Jangan menjadi anak yang berhati busuk, yang tidak memiliki hormat dan kesetiaan, yang hanya mau mengeksploitasi, memanfaatkan, memperalat, dan memperbudak Allah. 

Mari kita menjadi anak-anak Allah yang hormat, yang setia dengan tulus, mengabdi dalam ketulusan dan kemurnian hati, kita melayani dan memberi hidup bagi Tuhan, bukan karena supaya kita diberkati, melainkan karena kita sudah diberkati, sudah menjadi anak-anak Allah dan kita ada di dalam pemeliharaan Allah yang sempurna, penjagaan Allah yang sempurna. Di dalam Dia ada jaminan yang terjamin; dapat dipercaya dan sempurna. Karenanya kita tidak meragukan kasih, pemeliharaan Allah, tidak boleh meragukan setitik pun kesetiaan Allah atas kita. Kita yang harus meragukan kesetiaan kita sendiri terhadap Allah. Jangan meragukan kesetiaan Allah atas diri kita. Kita yang harus meragukan dan mencurigai diri kita sendiri; jangan-jangan kita tidak tulus atau belum tulus kepada Tuhan. Jangan-jangan dalam kegiatan pelayanan, kita masih memiliki agenda sendiri. Kita punya perusahaan di dalam perusahaan, kita punya kerajaan di dalam kerajaan. Dan sering tanpa sadar kita mengorbankan kepentingan Kerajaan Allah, ini adalah suatu kebodohan. 

 

Tetapi mari kita tulus mengabdi kepada Tuhan tanpa menuntut apa pun, karena kita telah menerima banyak hal dan kita terpelihara dengan sempurna. Yang kita lakukan adalah bagaimana kita bisa menyenangkan Dia dalam segala hal, bisa menyenangkan Tuhan dalam segala perkara. Maka, mari kita belajar memperlakukan Allah sebagai Pribadi yang hidup, yang berperasaan, sampai kita punya dinamika hidup memperlakukan Allah sebagai Pribadi yang hidup, yang berperasaan tanpa memaksa diri menghayati Allah yang hidup dan berperasaan. Dengan sendirinya kita memiliki irama memperlakukan Allah sebagai Pribadi yang hidup dan berperasaan. Dengan demikian, kita akan tercengkerami oleh hati yang takut akan Dia, hati yang menghormati Dia, hati yang tidak ingin melukai Dia. Ternyata itu perlu kita latih. 

Ironis, ilmu teologi ternyata tidak membangun perasaan takut dan hormat akan Allah secara proporsional. Kita juga mengamati kehidupan orang-orang yang belajar teologi, yang pintar bicara, yang cakap bicara, juga tidak memiliki perasaan takut dan hormat akan Allah sebagaimana seharusnya. Memang kita harus berteologi dan berteologi dengan benar, tetapi lebih dari berteologi, kita harus punya pengalaman dengan Allah. Berteologi lewat pengalaman hidup. Sehingga jangan pikiran kita hanya diisi dengan pengetahuan, tetapi perasaan kita diisi juga dengan pengalaman. Perasaan kita harus diisi melalui persekutuan dengan Tuhan dalam doa, meditasi, merenungkan Tuhan di sepanjang waktu hidup, supaya kita menghayati Allah yang hidup, membangun perasaan takut akan Allah, dan sikap hormat yang sepatutnya kepada Allah. 

Ayo kita berlomba, bagaimana kita menjadi orang yang dirasakan Tuhan bahwa kita setia dan hormat kepada-Nya, kita mencintai Dia dan Allah menikmati kesetiaan, hormat dan menikmati cinta kita kepada-Nya. Adalah kebahagiaan kalau kita menjadi seperti bunga yang harum dicium, seperti simfoni yang indah didengar oleh Tuhan. Ingat, kita hidup hanya satu kali. Satu kali untuk kekekalan. Jadi selama kita hidup yang sekali untuk kekekalan ini, mari kita bersungguh-sungguh menjadi orang yang benar-benar dapat dinikmati oleh Allah. Mari kita berdoa untuk itu, Tolong aku menjadi anak yang dapat Kau nikmati, Tuhan.”