Skip to content

Jalan yang Berlumpur

 

Di dalam Alkitab, kita menemukan bahwa perjalanan kedewasaan rohani orang percaya bisa paralel atau simetris dengan perkembangan tubuh manusia. Ada saat di mana anak manusia yang masih balita belum bisa makan makanan keras; jadi makan makanan lunak, susu. Tetapi ada saat di mana anak manusia tersebut sudah makin dewasa dan tidak lagi makan makanan yang lunak, tetapi makan makanan yang keras. Sejatinya, tidak semua jemaat Tuhan itu dewasa. Masih dibutuhkan makanan-makanan yang tidak keras, yang diperuntukkan bagi orang-orang Kristen yang masih baru. Tetapi kita harus memberi ruangan bagi orang Kristen yang sudah harus makan makanan keras. Apalagi melihat tanda zaman ini. Kalau dulu di zaman Paulus, karena kekristenan baru awal, mereka masih butuh makanan yang lunak seperti bayi. 

Tetapi kekristenan usianya sudah 2000 tahun. Jadi, kita tidak bisa secara yang tersurat memindahkan apa yang ditulis di dalam Kitab Ibrani untuk zaman kita hari ini, di mana Injil sudah diberitakan selama hampir 2000 tahun. Kita harus menyampaikan firman Tuhan sampai titik puncak. Kita tidak boleh takut untuk setinggi-tingginya mengajarkan kebenaran. Dalam Injil Matius 28:18-20 Tuhan Yesus berkata, “Ajarkan semua.” Dalam Alkitab tidak pernah ada satu ayat pun yang menolerir kesalahan karena manusia penuh kelemahan dan kekurangan. Yang ada, dalam surat Yohanes dikatakan, kalau kita salah, minta ampun. Bukan kemudian bisa atau terus melestarikan dosa. Bahkan dalam surat Yohanes dikatakan orang yang berkata hidup di dalam Tuhan Yesus, wajib hidup sama seperti Dia hidup.

Kompromi-kompromi seperti itu terjadi karena orang tidak berani kehilangan nyawa. Mungkin kita sudah menjadi Kristen sejak kecil, dan pasti kita mengalami pertobatan yang bertahap. Dan terutama melalui penderitaan, kehidupan yang pedih. Tapi di situ Tuhan mengajarkan kita kekristenan yang sejati. Bukan menjadi Kristen yang hanya ke gereja lalu bermoral baik, yang penting tidak melanggar hukum. Tetapi yang Tuhan ajarkan adalah sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus. Jadi apa yang Yesus lakukan, kita harus lakukan. Tidak boleh kurang. Tidak ada jalan yang tidak berlumpur; jalan sempit. Yesus pun melalui jalan sempit. Tidak mudah menyelesaikan karya keselamatan itu. Bahkan sampai titik terendah, Yesus sempat berkata, “Kalau boleh cawan ini lalu daripada-Ku.” Dan ketika Dia berdoa, tetesan keringat-Nya menjadi tetes darah. Itu depresi atau stres yang berat.

Tetapi Yesus bisa melewatinya, jalan sangat sempit atau jalan berlumpur itu. Kita juga punya jalan sempit dan jalan berlumpur. Dan pasti, Tuhan mendesain bagaimana kita menjalani jalan yang berlumpur yang akan kita jalani sampai kita menutup mata. Tidak ada satu waktu di mana kita seakan-akan bisa pensiun, “Sudah, cukup sampai di sini, umurku sekian. Aku pensiun.” Tidak ada. Kita harus terus berjalan untuk menyelesaikan pertandingan akhir, seperti Paulus menyelesaikan pertandingan akhir. 

Jadi kekristenan yang sejati itu, yaitu apa yang Yesus lakukan. Maka gereja harus memiliki dua hal. Yang pertama, kebenaran yang sejati. Yang kedua, teladan atau contoh. 

Kemutlakan mengikut Yesus dibahasakan dengan beberapa kalimat seperti dalam Matius 6:24, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Artinya 100% mengabdi, atau tidak usah sama sekali. Lukas 14:33, “Barangsiapa tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, ia tak dapat menjadi murid-Ku.” 1 Petrus 1:16, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus,” Semua kemutlakan ini tidak bisa dikurangi. Ironis, kita sadar atau tidak, kekristenan diajarkan dengan kompromi, sehingga kita menjalani kekristenan tidak dengan segenap hati. Hari ini kita melihat realitas kekristenan yang telah mengalami devaluasi; kekristenan yang merosot. Karena ada kompromi di dalamnya, atau ada konformisme; penyesuaian dengan dunia. 

Orang yang tidak sepenuh waktu, tidak layak bagi Tuhan. Karena siapa yang memiliki waktu kita, dialah yang memiliki hidup kita. Dan banyak orang menyerahkan waktunya untuk uang, harta, kehormatan, kesenangan, dan kepuasan. Bukan untuk kesenangan Tuhan. Tidak bermaksud merebut hidup seseorang untuk gereja, tapi kita merebut hidupnya untuk Tuhan. Setiap kita harus berurusan dengan Tuhan, agar kita mengerti bagaimana kita menyerahkan hidup kita. Maka, temukan rencana dan kehendak Tuhan dalam hidup kita masing-masing. Ini tidak mudah, kita harus menggumulinya. Maka, jangan berhenti bertumbuh. Kita punya satu ukuran: Yesus. Tentu pendeta, hamba Tuhan, harus lebih dulu bergumul dan mencapainya, supaya bisa membagikan kebenaran dan menjadi teladan. Dan itu didapat dari perjumpaan dengan Tuhan setiap hari, dan hidupnya benar-benar memancarkan perasaan pikiran Allah atau memancarkan pikiran perasaan Yesus. Yang itu merupakan sekolah kehidupan sampai kita menutup mata.