Dunia kita yang makin fasik, artinya tidak takut Tuhan dan tidak peduli perasaan-Nya. Dunia yang juga makin ateis, tidak memercayai bahwa Allah itu ada. Allah menjadi tipis, bahkan sangat tipis sampai tidak tersentuh, tidak terlihat, dan tidak nyata. Dunia seperti ini adalah dunia yang mencenderungkan hati untuk terkondisi lemah, tidak yakin bahwa Allah itu benar-benar ada. Syukur kalau kita masih mau berurusan dengan Tuhan dengan datang ke gereja, mengikuti doa puasa, atau membaca buku rohani. Ada satu kesaksian dari mahasiswa sekolah teologi di Inggris, tapi sekarang beliau sudah meninggal. Di dalam bukunya dia menyaksikan dosen bahasa Ibrani yang ia kagumi, berkata, “Jangan-jangan Allah itu benar-benar ada.” Mahasiswa ini menulis bahwa peristiwa itu sangat menggores di dalam hatinya dan ia tidak bisa melupakannya.
Seperti yang kita tahu bahwa di dunia Barat, kekristenan menjadi lesu, bahkan hari ini bisa dikatakan bangkrut, yang bisa dibuktikan dengan sepinya gereja. Hampir-hampir tidak ada lagi kebaktian di gereja-gereja. Malahan gereja-gereja menjadi tempat wisata. Hal ini membuktikan betapa merosotnya kekristenan di dunia Barat, walaupun mereka memiliki perguruan tinggi keagamaan Kristen atau STT-STT, seminari-seminari yang sangat berkualitas. Dosen-dosennya pun banyak yang bukan saja bergelar doktor, namun juga profesor. Dunia kita yang fasik ini mengondisi, Tuhan terasa begitu tipis. Bahkan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia Sekolah Tinggi Teologi pun belum tentu memiliki keyakinan yang benar tentang keberadaan Allah. Ini fakta yang tidak bisa kita bantah, kenyataan yang ada.
Jadi, bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus berkata, “Jika Anak Manusia datang, apakah Ia mendapati iman di bumi?” Karena begitu fasiknya dunia ini, sehingga hampir-hampir tidak ditemukan orang yang sungguh-sungguh memiliki iman yang benar; yang ditandai dengan adanya perjumpaan dengan Allah yang membuat warna hidup seseorang benar-benar menjadi istimewa. Sekarang kita jujur melihat diri kita masing-masing, seberapa tebal kehadiran Allah di dalam hidup kita, yang bukan saja kita percayai melainkan juga kita alami? Jangan kita membiarkan ketidakjelasan itu di dalam hidup kita, maka kita harus memperkarakannya. Seberapa tebal keyakinan kita akan kehadiran Allah yang terbangun dari pengalaman konkret, bukan hanya ketebalan di dalam pikiran, fantasi, ajaran doktrin di dalam kepala kita, di pikiran kognitif kita?
Mazmur 42:4, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam.” Ayat ini menunjuk duka, kesulitan atau kesukaran. Mengapa? Karena sepanjang hari orang berkata, “Di mana Allahmu?” Kalau kita membaca ayat-ayat sebelumnya, dikatakan, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” Dari ungkapan kalimat menunjukkan bahwa sang pemazmur ini yakin Allah itu ada sampai memiliki kehausan dan kerinduan akan Allah. Tetapi kemudian di ayat berikut, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam karena sepanjang hari orang berkata kepadaku, ‘Di mana Allahmu?’” menunjukkan bahwa manusia di lingkungannya, menuntutnya untuk membuktikan apakah Allah itu ada, apakah Allahmu itu nyata atau tidak?
Ketika kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, haus akan Tuhan, bahkan merindukan bertemu dengan Tuhan, akan mengalami keadaan di mana seakan-akan Allah itu tidak nyata, seakan-akan Allah itu tidak ada. Tetapi kita harus berjuang terus untuk menemukan Allah. Sampai kadang kita berseru, “Betapa sulitnya Engkau ditemui, Tuhan. Betapa sulitnya Engkau menjadi nyata. Tetapi aku sudah melangkah dan aku tidak menarik langkahku ke belakang. Aku harus menemukan Engkau dan mengalami Engkau lebih banyak. Jadi kalau kemarin aku alami Engkau sedikit, kehadiran-Mu tipis, yang kurasakan tipis itu makin hari makin tebal.” Tapi prosesnya nyaris tidak kelihatan. Kelihatannya sama saja, tetapi kita harus bertekun. Maka di ayat berikutnya, “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana,” Sekarang persoalannya adalah “Bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka ke rumah Allah.”
Jadi, kita tidak perlu peduli apa kata orang mengenai iman kita, namun kita akan membuktikan bahwa Allah yang kita percayai itu ada. Kita tetap memburu Dia; “Aku mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan,” sebuah optimisme bahwa dia akan mengalami Tuhan, dan apa yang dilakukannya itu tidak sia-sia. Pertanyaannya untuk kita adalah seberapa kita punya intensitas mendahului manusia lain mencari Allah? Seberapa kita menghargai Allah dengan memberikan porsi yang sepatutnya untuk Dia?