Ada dua kelompok umat pilihan. Pertama, umat pilihan secara jasmani, yaitu berdasarkan darah dan daging — keturunan Abraham — yang dimaksudkan bagi bangsa Israel, umat dalam Perjanjian Lama. Kedua, umat pilihan Perjanjian Baru, yang tidak lagi berdasarkan darah dan daging, melainkan berdasarkan iman dari segala suku bangsa di dunia. Karena itu, umat pilihan Perjanjian Baru sering disebut juga sebagai Israel rohani. Seorang anak manusia yang lahir sebagai orang Israel otomatis menjadi bagian dari umat pilihan. Mau tidak mau, suka tidak suka, sejak lahir ia sudah menyandang status sebagai umat pilihan tanpa harus memilih. Namun berbeda dengan umat Perjanjian Baru — mereka harus memilih.
Sayangnya, banyak orang Kristen masa kini terjebak dalam pola pikir yang sama seperti orang Israel. Karena terlahir dalam keluarga Kristen, mereka merasa otomatis menjadi orang Kristen sejati. Lebih parah lagi, banyak yang merasa berhak menyandang status anak Allah dan yakin pasti masuk surga. Padahal umat pilihan Perjanjian Baru ditentukan oleh iman, bukan keturunan. Dan iman itu menuntut pilihan serta tindakan. Betapa banyak orang Kristen yang tidak akan pernah menjadi umat pilihan sejati, tidak akan menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah, dan tidak akan dimuliakan bersama Yesus — karena mereka sebenarnya tidak memiliki iman yang sejati.
Fenomena ini terjadi karena banyak pengajaran yang salah dalam gereja. Banyak orang Kristen diyakinkan bahwa asal mereka mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, maka otomatis mereka sudah sah menjadi anak-anak Allah dan pasti masuk surga. Seolah-olah yang membedakan orang Kristen dan non-Kristen hanyalah pengakuan lisan: orang Kristen mengaku Yesus Tuhan, sementara non-Kristen tidak. Maka, orang Kristen yang mengaku demikian merasa dirinya memiliki nilai lebih dan aman dalam keselamatan. Padahal, iman sejati tidak berhenti pada pengakuan mulut, tetapi harus diwujudkan dalam pilihan dan tindakan yang nyata.
Iman tidak dapat diwariskan atau dimiliki secara otomatis hanya karena seseorang lahir dari orang tua Kristen, sebab iman menuntut keputusan pribadi dan tindakan sadar untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus. Jika dalam Perjanjian Lama seseorang menjadi umat pilihan secara otomatis karena kelahiran, maka dalam Perjanjian Baru seseorang harus memilih dengan sadar untuk beriman kepada Yesus. Iman bukan sekadar percaya, tetapi penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Iman sejati membuat seseorang bertindak, memilih, dan hidup sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.
Memang benar, orang tua Kristen harus mewariskan pusaka rohani kepada anak-anaknya, namun mereka hanya bisa memberikan warisan itu jika mereka sendiri memiliki Allah. Seseorang tidak dapat memiliki Allah tanpa memiliki karakter-Nya. Karena itu, pertama-tama orang tua harus memiliki karakter Kristus agar dapat menularkannya kepada anak-anaknya. Tanpa karakter Kristus, tidak ada warisan rohani yang bisa diimpartasikan, sebab iman bukan doktrin yang diajarkan lewat kata-kata, melainkan kehidupan yang diteladankan.
Kedua, orang yang memiliki Tuhan akan hidup dalam damai sejahtera dan sukacita surgawi, bukan dalam kesenangan dunia. Orang yang melandaskan kebahagiaan pada dunia tidak mungkin dimiliki oleh Allah dan tidak mungkin memiliki Allah. Hanya orang yang hidup dalam damai sejahtera dan sukacita Allah yang dapat mengimpartasikan suasana ilahi itu kepada anak-anaknya. Namun anak-anak pun tidak otomatis menerima warisan rohani itu. Mereka harus melalui perjalanan pribadi yang panjang, karena dunia juga berusaha mewarnai, memengaruhi, dan menyesatkan hati manusia.
Yang ketiga, orang yang benar-benar memiliki Tuhan adalah orang yang hidup sepenuhnya bagi kepentingan-Nya. Ia tidak mungkin dimiliki oleh Allah bila masih hidup untuk dirinya sendiri. Inilah esensi iman. Dalam bahasa Yunani, “iman” diterjemahkan dari pisteuo, yang berarti “menyerahkan diri kepada objek yang dipercayai.” Objek iman kita adalah Tuhan Yesus Kristus. Maka, jika kita beriman kepada-Nya, artinya kita menyerahkan diri sepenuhnya untuk mengikuti jejak-Nya. Mengikuti jejak Kristus berarti memiliki karakter seperti Dia — makanan-Nya ialah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Sukacita-Nya bukan berasal dari dunia, dan seluruh hidup-Nya dipersembahkan bagi kemuliaan Allah Bapa. Demikian juga kita. Jika iman kita sejati, iman itu akan menuntut kita memilih, bertindak, dan hidup hanya bagi Allah.