Skip to content

Iman dalam Kepastian

 

Iman menjadi suatu kepastian ketika iman itu diwujudkan dalam tindakan atau perbuatan nyata. Salah satu penyesatan yang berhasil, yang masif meliputi seluruh dunia dan di sepanjang perjalanan sejarah gereja, dan kemudian dari hal itu tersusun doktrin-doktrin yang sebenarnya pilarnya adalah suara dari kuasa kegelapan, bukan dari Alkitab. Penyesatan itu adalah menyamakan iman kepada Allah dengan keyakinan. Dan kalau sudah meyakini, dianggap sebagai orang beriman. Yakobus mengatakan di dalam Yakobus 2:19, “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Sebenarnya, teks aslinya di sini bukan setan, melainkan roh-roh jahat (Yun. daimonia). Sedangkan setan (Yun. diabolos) adalah penghulu, pemimpin. 

Jadi, iman itu bukan sekadar keyakinan. Tetapi iman menjadi suatu kepastian kalau dinyatakan dalam perbuatan atau tindakan konkret. Maka, di sini dibutuhkan usaha segenap hidup. Kalau kekristenan hanya menjadi bagian hidup, kita tidak akan pernah menjadikan iman itu iman yang menyelamatkan. Jadi kita harus memahami kata “iman” ini tidak sama dengan keyakinan di dalam pikiran. Iman adalah penyerahan diri. Pertanyaannya, berapa persen kita telah menyerahkan diri kepada Tuhan? Tentu harus 100% atau sepenuhnya, yang dinyatakan di dalam mengasihi Allah dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan. Iman menjadi kepastian jika sampai pada kehidupan mengasihi Allah dengan segenap. Jika tidak, berarti belum menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan adalah iman dalam kepastian di mana seseorang benar-benar memiliki hati yang mengasihi Allah. Ingat, bahwa keselamatan kita itu bukan hanya masuk surga, melainkan menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Bahwa gol yang harus dicapai orang Kristen adalah sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus; dengan kata lain, berkenan kepada Allah. 

Jadi, kita harus memperkarakan apakah sungguh-sungguh kita telah memiliki iman yang menyelamatkan atau belum. Jangan main-main dengan Tuhan. Tetapi, rata-rata orang memberikan porsi yang tidak patut bagi Allah. Padahal untuk membangun keyakinan yang benar menjadi iman dalam kepastian, kita harus sungguh-sungguh memperkarakan beberapa hal. Yang pertama, apakah masih ada dosa yang kita lakukan? Tentu dosa yang melanggar moral bisa kita pahami dengan cepat, tapi ada perbuatan kita yang belum kita sadari yang ternyata melukai orang. Jangan mengolok-olok Tuhan. Dosa itu kebencian bagi Allah. 

Yang kedua, apakah masih ada kesenangan dalam diri kita selain menyenangkan Tuhan? Sebagai manusia, kita senang berkumpul bersama keluarga, makan, wisata dll. Tidak salah, karena kita manusia dan bisa menikmati, tetapi hal itu tidak boleh mengikat hati kita. Kita bisa menikmatinya, namun tanpa memberhalakan. Jadi, seandainya kita tidak memiliki sesuatu, kita tetap merasa lengkap. Ingat bagaimana Ayub dibuat Tuhan naik kelas, yaitu ketika seluruh miliknya diambil—harta, anak, kesehatan, dan istri—tapi dia tidak kehilangan hidup. Kenapa dia tidak kehilangan hidup? Karena dia tidak kehilangan Tuhan. Alkitab menuliskan bahwa dalam semuanya itu, Ayub tidak berbuat dosa. Dia tidak memiliki siapa-siapa, tetapi dia memiliki Tuhan. Dia tidak punya kesenangan. Apakah itu harta, keluarga, kesehatan, anak, bahkan sahabat. Kita boleh memiliki banyak hal, tapi kalau kita tidak bersekutu dengan Tuhan secara benar, berarti kita tidak memiliki hidup. Jangan sombong! Tuhan sedang mendidik kita, supaya kita bisa memiliki hidup tanpa apa-apa, tanpa siapa-siapa, tapi kita bisa hidup dengan Tuhan. 

 

Yang ketiga, apa motivasi hidup kita? Motivasi hidup kita harus satu, yaitu melayani Tuhan, menyenangkan hati Allah. Salah satu motivasi yang tidak tepat dalam hidup adalah tidak memberi yang terbaik untuk Tuhan. Pelayanan ini harus yang terbaik. Dunia kita hanya untuk mengabdi ke Tuhan. Dan itu tidak membuat kita merasa capek.

Kita harus berani memperkarakan hidup kita: “Apa salahku, Tuhan?” Bukan dalam rangka kita sedang mengeluh, “Apa salahku yang membuat Engkau tidak nyaman atau bahkan terlukai? Apa salahku, dosa apa yang masih kulakukan?” Kalau Tuhan sudah mengampuni kita, melupakan dosa kita dan menutupi kesalahan kita, jangan berbuat dosa lagi. Taklukkan masa depan kita di bumi ini dengan kesucian. 

Jadi, tidak ada kata mudah-mudahan masuk surga. Kalau hari ini kita tidak ada di dalam lingkup Kerajaan Surga, maka kita tidak masuk. Jadi, mestinya kita selalu melihat keadaan kita ini benar-benar layak di hadapan Allah atau tidak. Karena keadaan kita inilah keadaan abadi yang pada waktu kita mati, tidak akan berubah. Ini merupakan nilai akhir. Maka, selagi ada kesempatan, kita bebenah diri.