Perjumpaan dengan Tuhan harus dilanjutkan dengan hubungan pribadi atau hubungan personal yang semakin mendalam. Kita bukan hanya berjumpa dalam perjumpaan sekali, dan setelah itu tidak ada kelanjutannya. Juga tidak cukup dengan perjumpaan secara insidentil pada waktu-waktu tertentu. Tetapi perjumpaan dengan Tuhan harus disertai, diikuti serta dilengkapi dengan pengenalan pribadi, hubungan personal yang terus-menerus dan semakin mendalam. Sama seperti hubungan antar sesama, apalagi kalau hubungan itu menyangkut hubungan dua insan yang kemudian nantinya menjadi pasangan suami istri. Firman Tuhan mengatakan di dalam 2 Korintus 11 bahwa hubungan kita dengan Tuhan Yesus seumpama hubungan kekasih, hubungan pertunangan. Yang suatu hari, seperti yang dikatakan beberapa kali di dalam Alkitab khususnya kitab Wahyu, akan ada pesta perkawinan Anak Domba. Tentu pesta perkawinan ini bukan pesta perkawinan dalam pengertian umum hubungan pria wanita yang terkait dengan romantika seksualitas, melainkan perjumpaan antara Kristus sebagai mempelai laki-laki, dan kita sebagai mempelai wanita.
Kalau disebutkan sebagai “pesta perkawinan,” ini berarti sebuah persekutuan yang tidak terpisahkan, seperti tatanan yang digariskan oleh Bapa di surga, bahwa seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya; “Sebab itu apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.” Itu tatanan. Hubungan pria dan wanita yang diikat dalam pernikahan, itu hubungan abadi atau kekal. Di dalam Efesus 5, ketika Paulus bicara mengenai hubungan suami istri, kembali Paulus menulis kalimat ini, “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar.” Artinya persekutuan, pertemuan antara laki-laki dan wanita yang terikat dalam pernikahan menjadi satu daging, itu merupakan sebuah rahasia besar.
Hubungan ini diciptakan oleh Allah. Menakjubkan dan sangat eksklusif. Tetapi kemudian dalam Efesus 5:32 dikatakan, “tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” Jadi hubungan suami istri itu memuat rahasia besar, ada eksklusivitas, keistimewaan yang sebenarnya tidak bisa dijelaskan. Dan ini diciptakan oleh Allah. Cinta itu luar biasa. Jadi kalau sekarang kita melihat cinta bisa menjadi begitu murahan, perkawinan menjadi begitu sembarangan, perceraian begitu mudah terjadi, hal itu karena manusia sudah rusak. Kalau seorang pria mengenal Allah dengan benar, takut akan Allah, benar-benar menemukan Allah kemudian seorang wanita mengenal Allah, takut akan Allah, lalu dipersatukan dalam cinta romantika, itu luar biasa. Tetapi yang seperti ini hampir-hampir tidak kita temukan hari ini. Karena manusia sudah rusak.
Jika manusia rusak, maka cinta ideal yang Allah ciptakan pada penciptaan awal yang ditulis dalam kitab Kejadian, tidak terwujud. Nyaris tidak terwujud. Karakter rusak tersebut membuat manusia kehilangan cinta romantika orisinal yang Allah ciptakan. Padahal, sebenarnya luar biasa. Maka dikatakan di dalam firman Tuhan, “rahasia ini besar.” Dan kita menemukan di dalam firman Tuhan dikatakan “hal yang tidak kumengerti, jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis,” begitu dikatakan di dalam tulisan seorang bijak di Alkitab. Kalau hubungan pria wanita saja begitu eksklusif, begitu istimewa, hanya Allah yang bisa mendesain, maka hubungan Kristus dan jemaat, hubungan pribadi antara Tuhan dengan kita, seharusnya jauh lebih eksklusif, jauh lebih indah.
Tetapi apakah kita menemukan hubungan ini? Apakah kita mencapai hubungan ini? Masalahnya, banyak orang yang tidak sungguh-sungguh membangun personal relationship dengan Tuhan. Sebagaimana kita punya teman, punya kenalan dan setiap teman atau kenalan itu kita beri porsi. Ketika si A mengajak pergi, karena dia bukan sahabat dekat, maka kita tidak akan langsung menerima ajakannya. Lain dengan si B yang mengajak pergi, bahkan kerjaan penting pun bisa kita atur-atur agar bisa pergi dengan si B. Pertanyaannya, berapa porsi yang kita berikan untuk Tuhan, yang karenanya kita mau membangun hubungan? Kalau urusan dengan Tuhan, apa kita selalu berkata “siap?” Kalau tidak, berarti kita tidak pernah memiliki hubungan eksklusif dengan Tuhan. Jangan sampai nanti di ujung maut, baru kita berkata, “Tuhan, di mana Kau?” Lalu malaikat menjawab,“ dulu kamu di mana?”
Jangan sia-siakan kesempatan di mana Tuhan membuka tangan untuk memeluk kita. Dia memberikan diri-Nya bukan hanya di kayu salib, namun Ia memberikan diri-Nya untuk dikenal, menjadi sekutu dan kekasih yang akan menemani kita sampai kekekalan. Ini bukan sekadar masalah gereja. Ini lebih dari sekadar masalah kebaktian dan agama. Ini masalah relationship with God.