Sebagaimana pengalaman hidup kita dalam berinteraksi dengan sesama, kita menemukan sebuah kekhususan atau kekhasan atau spesifikasi dalam setiap hubungan tersebut. Ketika kita berhubungan dengan orang tua, hubungan itu khusus yang tidak bisa kita bangun dengan orang lain; hanya bisa dibangun dengan orang tua, dan itu pun melalui proses bertahap sesuai dengan umur kita. Ketika masih kanak-kanak, kita memiliki relasi yang belum matang, relasi yang belum dewasa dengan orang tua. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika kita makin dewasa, kita mulai mengenali diri kita dan kemudian kita bisa mengenali orang tua kita dan kita menemukan titik pertemuan, hubungan yang harmoni antara ayah atau ibu dan anak.
Waktu kanak-kanak, kita tidak tahu bagaimana hubungan yang dewasa, yang matang itu. Biasanya anak hanya mau senang-senang saja. Anak masih bersifat simbiosis parasitisme; mengeksploitasi, menghisap. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika kita dewasa, kita mengenal diri kita dan mengenal orang tua, sampai pada satu titik hubungan yang harmoni. Sebenarnya, hubungan suami isteri juga bisa begitu. Pada waktu pacaran, semua serba indah, hingga akhirnya mereka menikah. Waktu bulan madu, semua juga masih serba indah. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika karakter masing-masing nampak, di situ sering terjadi konflik. Kalau konflik itu dikelola dengan benar, maka mereka akan terus bertumbuh dewasa antara suami-isteri, sampai pada usia tertentu, mereka menemukan titik pertemuan.
Sampai suami berkata, “Tidak ada wanita yang pantas di sampingku selain dirimu” atau sebaliknya istri berkata, “Tidak ada pria yang pantas di sampingku selain dirimu.” Walaupun rambut sudah memutih, tubuh sudah rentan, tetapi batiniah mereka semakin terikat, terlekat setelah melewati perjalanan panjang. Ingat, hubungan suami istri itu khas, khusus. Antara Rudi dan Endang, beda dengan Toto dan Lili. Masing-masing punya kekhasan. Maka, betapa rusaknya kalau seorang pria atau seorang wanita yang sudah punya pasangan, lalu menjalin hubungan dengan pria atau wanita lain yang bukan pasangan; itu merusak seluruh struktur bangunan kehidupan rumah tangga.
Ini menjadi ilustrasi hubungan kita dengan Tuhan. Hubungan kita dengan Tuhan harus makin dewasa. Waktu kita menjadi Kristen baru, kita hanya bisa meminta, menuntut. Tuhan diposisikan sebagai Penolong, Pemberi saja. Namun, seiring berjalannya waktu, kita mengenal siapa diri kita. Lalu, kita juga akan dituntun Roh Kudus untuk mengenal siapa Allah bagi kita. Setiap orang memiliki hubungan yang khusus dan khas dengan Allah. Siapa Allah bagi si A, si B, si C, berbeda. Tentu prinsipnya sama, karena Allah tidak berubah; tetapi ada kekhasan, kekhususan, yang tidak akan pernah sama. Inilah yang harus kita temukan.
Kita tidak akan pernah mengenal Allah dengan benar dan memiliki hubungan yang benar dengan Allah tanpa mengenal diri kita sendiri dengan benar. Kalau Pemazmur mengatakan, “Selidiki aku, kenali aku,” ia sedang mengajarkan bahwa kita harus mengenali diri kita; sifat, karakter, kelicikan-kelicikan yang ada pada kita. Ingat, firman Tuhan mengatakan, “Hati lebih licik dari segala sesuatu.” Kita harus mengenali kelicikan kita, ketidaktulusan kita. Maksudnya agar kita membereskannya; jangan tidak tulus, jangan jadi licik.
Sejatinya, di dalam diri kita ada pangkalan setan, di mana kalau ada impuls atau rangsang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah, gampang kita meresponnya. Semua pangkalan itu harus dihancurkan dan digantikan pangkalan baru, di mana kita akan tersambung dengan kehendak Allah, sesuai pikiran perasaan Allah. Maka, kita harus bertumbuh dewasa. Seperti ilustrasi hubungan anak dengan orang tua. Kalau anak itu bertumbuh dewasa, dia akan mengenal siapa dirinya dan mengenal siapa orang tuanya, sampai pada titik perjumpaan yang harmoni, tetapi kalau anak ini nakal, bisa tidak ketemu. Maksud orang tua baik, tetapi dipandang oleh anak jahat.
Bukankah itu sering terjadi? Bukan orang tua yang salah, tetapi anak yang salah. Namun anak berkata, “Orang tua pelit, tidak tahu diri, egois, tidak membahagiakan anak,” padahal anaknya yang rusak. Minta uang untuk beli barang-barang yang tidak perlu, foya-foya, bahkan digunakan untuk narkoba. Tentu orang tua tidak setuju, tetapi anak tidak mau tahu. Lihat, hal-hal semacam ini terjadi, sampai pada anak itu usia tua, tetapi tidak dewasa. Karena tua itu otomatis, dewasa itu perjuangan. Bahkan, sudah punya istri, masih merongrong orang tua.
Jadi, tidak pernah ada titik temu. Anak tidak mengenal dirinya; sebenarnya dia itu jahat, egois, tidak tahu diri. Tidak heran dia tidak mengenal orang tuanya, tidak tersambung. Jangan sampai hal ini terjadi dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kita harus terus memiliki hubungan dengan Tuhan yang harmoni, maka bertumbuhlah terus. Sampai kita menemukan perjumpaan yang harmoni dengan Allah setelah kita tumbuh dewasa dan mengenal Allah yang berkepribadian agung.
Allah tidak berubah, tetapi ada kekhususan dalam hubungan dengan setiap pribadi; inilah yang harus kita temukan.