Pasti semua kita percaya bahwa Allah itu ada. Kita juga setuju bahwa Allah itu Allah yang hidup dan nyata. Senyata orang tua atau pasangan kita yang dengannya kita berinteraksi, demikian pula Tuhan. Yang karenanya kita memiliki pengalaman berinteraksi, berhubungan dengan orang tua atau pasangan. Setiap anak dalam satu keluarga pasti memiliki keunikan dalam berinteraksi atau berhubungan timbal balik dengan orang tua. Dan itu bisa menjadi kenangan panjang, bahkan kenangan abadi dalam hidup kita. Kita juga tentu telah merasakan kebaikan orang tua kita, yang kemudian ketika kita bisa membalas kebaikan mereka, kita mau melakukan apa saja yang dapat membuat mereka bahagia. Kenangan, goresan masa lalu bagaimana kita berinteraksi dengan orang tua merupakan suatu hal yang faktual, yang riil.
Mestinya dengan Allah juga demikian, sebagai Bapa kita. Dia Allah yang hidup. Tidak mungkin jagat raya dengan tatanan yang sedemikian sempurna itu ada dengan sendirinya. Ada Desainer Agung dengan pikiran maha cerdas yang menciptakan semua planet yang berputar pada orbitnya, pada lintasannya, dengan kekuatan magnet tertentu, sehingga tidak bertabrakan satu dengan yang lain. Ekosistem bumi yang luar biasa pun tidak mungkin ada dengan sendirinya. Tubuh kita dengan metabolismenya ini pun merupakan sebuah keajaiban yang tidak pernah selesai dieksplorasi, diselidiki. Ada tangan yang tidak kelihatan—invisible hand—yang menciptakan jagat raya dengan isinya, dan khususnya manusia.
Kalau kita percaya Allah itu ada, hidup, dan juga maha hadir, maka konsekuensi seharusnya adalah kita memperlakukan Allah juga sebagai Pribadi yang hidup dan nyata. Kita harus menemukan mekanisme interaksi dengan Allah, yang setiap individu pasti unik. Ada ruangan yang Allah sediakan seluas-luasnya, di mana kita bisa menjumpai Tuhan dan berinteraksi dengan Dia. Dalam hal ini bukan di ruangan doa saja, melainkan dalam seluruh wilayah hidup kita dan melalui segala sesuatu yang kita lakukan, Allah berkenan hadir di situ. Ia mau berinteraksi dengan kita. Sebab di luar Dia, tidak ada kehidupan. Manusia mati tanpa interaksi dengan Dia.
Di dalam interaksi itu, Bapa mendidik. Jadi kalau Allah menyertai kita, itu bukan hanya dalam rangka Allah mau melindungi dan menjaga kita. Sebagai Bapa, Dia mendidik. Di dalam Ibrani 12:3-7, firman Tuhan mengatakan, bapak mana yang tidak mendidik anak-anaknya? Dia mendidik, menghajar anak-anak-Nya, memukul berulang-ulang. Di 70-80 tahun umur hidup kita, Allah mendidik, supaya kita menjadi manusia sesuai yang Dia inginkan. Bukan seperti manusia kebanyakan yang tidak akan mendapat kesempatan ada di Rumah Bapa di kekekalan.
Namun, banyak orang sibuk dengan segala urusan. Diajak mencari Tuhan, selalu menunda. Jawabnya “nanti.” Padahal, satu, kita tidak tahu kapan meninggal. Dua, Iblis membentuk manusia batiniah kita sampai tidak mampu berinteraksi dengan Allah. Hati manusia membatu, siapa yang dapat mengenalinya? Kalau ibarat penyakit hati, ini sirosis. Sudah membatu. Petrus ketika dilirik Tuhan, dia menangis tersedu-sedu. Berbeda dengan Yudas yang gantung diri. Karena Yudas terbiasa mencintai uang. Dia tidak memiliki kepekaan mendengar Roh Kudus. Dan ini adalah stadium menghujat Roh. Penundaan demi penundaan, lalu hidupnya sembarangan itu mendukakan Roh, sampai memadamkan. Dan akhirnya Roh Kudus tidak bisa bekerja, karena dia tidak mampu merespons pekerjaan Roh Kudus.
Roh Kudus adalah satu-satunya representatif atau wakil Bapa dan Tuhan Yesus dalam menggarap hidup manusia atau umat pilihan. Kalau satu-satunya representatif ini ditolak, tidak ada wakil lain. Pertanyaannya, apakah kita sungguh-sungguh berurusan dengan Tuhan? Seserius apa kita berurusan dengan Tuhan? Kalau hanya kebaktian ke gereja seminggu sekali atau lebih, itu bukan sesuatu yang sulit. Setiap orang beragama bisa lakukan demikian. Namun, apakah kita ada di dalam kesadaran bahwa Allah itu hidup, dan kita menempatkan diri di hadapan Allah yang hidup dengan segala kewaspadaan, dengan segala hormat kepada Tuhan?
Ada candid camera, yaitu mata Tuhan yang melihat. Jadi seberapa serius kita percaya bahwa Allah itu ada? Sebab percaya kepada Allah bukan hanya berorientasi pada keyakinan di dalam pikiran atau pengaminan akali. Percaya kepada Tuhan harus menyangkut isi dari percaya itu; yaitu hubungan. Betapa mulia Allah. Memang tidak mudah menemukan Allah. Lebih mudah menemukan ilmu tentang Allah. Orang bisa berjam-jam di ruang perpustakaan dari Senin sampai Sabtu. Orang bisa berjam-jam mengerjakan karya ilmiah teologi, tetapi 30 menit duduk di diam di kaki Tuhan, belum tentu sanggup.
Jadi, tidak heran banyak teolog yang bisa berargumentatif begitu akademis, begitu kokoh, rasa-rasanya tak terbantahkan, tetapi tidak mengenal Allah dari perjumpaan dengan Dia. Kita harus mengerti bahwa perjumpaan dengan Allah merupakan sumber teologi yang lebih dari buku atau apa pun. Orang bisa punya segudang pengetahuan tentang Allah, tetapi dia kalah dengan seorang ibu sederhana yang hanya memiliki segenggam teologi dari hasil perjumpaannya dengan Tuhan. Tidak mengecilkan arti teologi, tetapi perjumpaan dengan Allah ini yang harus mutlak dialami oleh setiap individu karena perjumpaan ini berkuasa mengubah hidup kita.
Percaya kepada Tuhan harus menyangkut isi dari percaya itu; yaitu hubungan.