Saudaraku,
Menghadapi realitas penghakiman, pertanggunganjawab di hadapan Tuhan dan kekekalan, seharusnya membuat setiap kita menjadi gusar, sebab realitas tersebut sesuatu yang dahsyat dan sangat menggetarkan. Kengerian keadaan seseorang yang tidak bisa mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan penghakiman Tuhan dan diancam terbuang dan terpisah dari hadapan-Nya selama-lamanya adalah sesuatu yang mengerikan sekali. Tidak ada cara untuk bisa menggambarkan kengerian tersebut. Inilah kengerian maha dahsyat dalam kehidupan ini. Tuhan Yesus pun mengajarkan agar kita “takut” terhadap realitas ini yang berporos pada takut akan Tuhan.
Ia berkata dalam Matius 10:28, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” Dalam pernyataan-Nya Tuhan Yesus menunjukkan realitas terbuangnya tubuh dan jiwa ke dalam neraka. Orang Kristen yang tidak bisa mempertanggungjawabkan kehidupannya di hadapan penghakiman Tuhan adalah orang-orang yang dikatakan tidak tahan berdiri di hadapan Anak Manusia (Luk. 21:33-36). Kata tahan dalam teks aslinya adalah histemi (ἵστημι) yang juga berarti kokoh dan tidak ragu-ragu.
Sejatinya, banyak orang yang masih dalam keadaan tidak akan sanggup berdiri di hadapan Tuhan Yesus, tetapi mereka tidak menganggap itu sebagai masalah besar yang harus ditanggulangi. Sementara itu fokus hidup mereka tertuju kepada kepentingan-kepentingan duniawi sehingga mereka semakin mengabaikan hal terpenting dalam kehidupan ini. Hanya orang yang hidup tidak bercela yang tahan berdiri di hadapan Anak Manusia. Itulah sebabnya panggilan orang percaya adalah hidup tak bercacat dan tak bercela (1Kor. 1:8; Flp. 1:10; Kol. 1:22; 1Tes. 3:13; 5:23; 1Tim. 6:14; 2Ptr. 4:14 dan banyak lagi).
Namun faktanya, semakin hari hal hidup tidak bercacat dan tidak bercela semakin jarang dikemukakan dan dikampanyekan di dalam gereja. Banyak gereja puas dengan penerimaan diri bahwa manusia tidak bisa sempurna, lagi pula keselamatan dapat terjadi bukan karena perbuatan baik melainkan karena anugerah. Mereka mengutip beberapa ayat dengan penafsiran yang salah untuk membela keyakinannya dan mengabaikan kebenaran yang jelas-jelas tidak terbantahkan bahwa kita harus sempurna seperti Bapa dan mengikut Tuhan Yesus yang artinya mengikut cara hidup-Nya.
Saudaraku,
Dalam Efesus 1:4 tertulis mengenai kehidupan yang kudus dan tak bercacat di hadapan Tuhan. Sesungguhnya hal ini adalah tujuan akhir dari kehidupan seorang yang mengikut Tuhan Yesus. Kehidupan kekristenan kita harus diarahkan kepada tujuan itu dan tidak boleh meleset sedikit pun. Perlu dipahami bahwa kehidupan kudus dan tidak bercacat di hadapan Tuhan dalam ayat tersebut bukan berkenaan dengan pengampunan yang Tuhan berikan dan penyucian darah-Nya, melainkan bertalian dengan langkah setiap individu untuk menanggalkan manusia lamanya dan mengenakan manusia baru (Ef. 4:17-32).
Keadaan hidup kudus dan tidak bercacat dalam teks ini bukan hasil langsung kurban Tuhan Yesus di kayu salib, melainkan hasil perjuangan setiap individu untuk memiliki kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela. Tentu saja semua juga berlandaskan pada kurban Tuhan Yesus di kayu salib, tetapi respons seseorang terhadap anugerah-Nya sangat menentukan kelangsungan keselamatannya, yaitu mencapai kehidupan yang kudus dan tidak bercacat di hadapan Tuhan yang sama dengan dikembalikan ke rancangan Allah yang semula.
Perjuangan untuk hidup kudus dan tak bercacat melalui belajar firman Tuhan dan penyangkalan diri akan menghasilkan kehidupan yang kudus dan tak bercacat. Hal ini tidak bisa digantikan dengan anugerah. Kalau pengertian kudus dan tidak bercacat bisa dimiliki seseorang secara ajaib dan mistis, maka tidak akan ada usaha masing-masing individu secara proporsional untuk bertumbuh menjadi manusia Allah. Dengan demikian manusia menjadi makhluk yang tidak bertanggung jawab. Yang benar adalah orang percaya harus berjuang untuk hidup kudus. Ini adalah panggilan bagi setiap orang untuk masuk proses pemuridan.
Inilah kehidupan kristiani yang harus digumuli dengan serius, yaitu mengenakan manusia baru di dalam Tuhan (Ef. 4:22-24). Faktanya tidak mungkin orang bisa dengan sendirinya hidup kudus dan tidak bercacat. Menjadi baik saja sulit, apalagi menjadi sempurna. Mengenakan manusia baru bukan hanya berarti menjadi baik, melainkan hidup dengan spirit atau gairah hidup Tuhan Yesus. Mengenakan manusia baru artinya mengenakan cara hidup yang berbeda dengan cara hidup manusia lain yang tidak meresponi anugerah keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus. Orang bisa menjadi baik tanpa mengenakan manusia baru, namun orang tidak bisa menjadi manusia baru tanpa keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus.
Teriring salam dan doa,
Pdt. Dr. Erastus Sabdono
Orang Kristen yang tidak bisa mempertanggungjawabkan kehidupannya
di hadapan penghakiman Tuhan adalah orang yang dikatakan
tidak tahan berdiri di hadapan Anak Manusia