Skip to content

Hidup yang Diubah

 

Firman Tuhan mengatakan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Rm. 12:2). Ayat yang sudah sering kita dengar, tetapi hari ini Tuhan menantang dan bertanya kepada kita, “Di mana letak perbedaanmu dengan dunia?” Mari kita renungkan, kita pikirkan dengan serius. Jangan-jangan kita masih serupa dengan dunia ini. Padahal jelas kita harus berbeda. Ini tidak sederhana, bukan sesuatu yang simple, ini sesuatu yang kompleks. Dan untuk memahami hal ini, dibutuhkan kejujuran untuk melihat diri sendiri. Sebab kalau kita tidak jujur, kita akan gagal menemukan bagaimana keadaan kita yang sebenarnya; tentu kejujuran yang diterangi Roh Kudus. 

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,” artinya kita harus berbeda. Di mana letak perbedaan kita dengan dunia? Dari aspek mana sebenarnya? Kalau dengan orang-orang yang beragama lain, perbedaannya jelas. Ini menyangkut kepercayaan, keyakinan, yang di situ akan melibatkan hukum-hukum syariat berbeda. Namun, kita berhadapan head-to-head dengan dunia. Pernahkah kita melihat perbedaan dengan dunia? Perbedaan yang bagaimana yang Allah kehendaki? Kalau kita membaca ayat yang pertama, baru kita akan bisa menemukan perbedaan itu, “Karena itu, Saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah, itu adalah ibadahmu yang sejati.” Kata yang membedakan adalah “demi kemurahan Allah.” Karena Tuhan sudah mengasihi kita, menyelamatkan kita, memberikan kemurahan kepada kita. Ini yang anak-anak dunia tidak mengenal. 

Kita adalah orang-orang yang berutang karena kemurahan Allah. Karena Allah sudah berbuat baik kepada kita, namun dunia tidak mengenalnya. Ini sama dengan permulaan 10 Hukum Taurat yang dimulai dengan kalimat: “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membebaskan kamu dari perbudakan bangsa Mesir.” Sama dengan “Demi kemurahan Allah,” karena kita telah menerima kemurahan Allah. Jadi, kita memiliki satu hal yang dunia tidak miliki. Yang kalau dibahasakan dengan kalimat lain berbunyi: “Baik kamu makan atau minum atau melakukan segala sesuatu, lakukanlah semua untuk kemuliaan Allah.” Artinya karena Allah sudah menyelamatkan kita, maka semua untuk Tuhan. Jadi kalau dunia melakukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri, kita melakukan segala sesuatu untuk Allah. Berarti kita ada di wilayah yuridiksi atau wilayah kekuasaan Allah. 

Pertanyaannya, apakah kita sudah hidup sepenuhnya untuk kemuliaan Allah? Sejujurnya, tidak sepenuhnya kita hidup untuk kemuliaan Allah. Tapi sekarang kita serius mau 100% untuk Tuhan. Tapi untuk mencapai ini tidak mudah. Kenapa? Karena keberadaan kita yang masih punya kedagingan, atau yang sama dengan manusia lama, membuat kita tidak bisa 100% untuk Tuhan. Kalau orang terlambat untuk mencapai ini, sulit. Padahal Tuhan menghendaki agar seluruh, segenap hidup kita dipersembahkan bagi Tuhan. Ayat berikutnya indah sekali, Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu.” Siapa yang mengubah pembaruan budi kita? Tentu kerjasama, kolaborasi antara pekerjaan Allah dengan kita yang dipimpin oleh Roh Kudus. Maka kita harus menanggapi pekerjaan Roh Kudus ini. 

Menjadi Kristen itu sebenarnya hanya memiliki satu tujuan, yaitu hidup yang diubah. Dan untuk ini, apa pun mesti kita korbankan, apa pun mesti kita lepaskan, demi perubahan itu (metamorfoste). Dan ini harus berlangsung atau terjadi dalam hidup kita dari waktu ke waktu. Jika itu benar-benar berlangsung, maka kita dapat membedakan antara kehendak Allah atau bukan kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna. Jadi, sementara kita diproses, yang harus terjadi dalam hidup kita adalah pembaruan pikiran. Pikiran inilah yang dibarui oleh firman (Yun. rhema). Dan setiap orang pasti punya keadaan yang unik, yang khusus, yang spesifik. Dan ketika kejadian itu berlangsung, Tuhan berbicara, pikiran diubah. Maka kita melihat, orang yang belajar firman, bukan dari atau bukan bersamaan dengan peristiwa-peristiwa hidup, hidupnya mentah.

Mau belajar setinggi langit, tetapi kalau tidak melalui peristiwa hidup, tidak membangun pemikiran untuk mengerti kehendak Allah—apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna—maka itu tidak cukup, sebab harus melalui pengalaman-pengalaman hidup. Kalau seseorang mau menyangkal diri, dia berkata, “Baik, Tuhan.” Walau ia merasa sakit, tapi belum sempurna. Nilainya mungkin masih 6 atau 6 setengah. Besok, ia bertemu dengan pengalaman yang sama lagi, mungkin lebih menyakitkan, dan Tuhan bicara, “Diam, jangan membalas.” Inilah yang membentuk dia menjadi manusia Allah, dan suara inilah yang memenuhi pikirannya. Siapa yang menguasai pikiran kita, itulah yang menentukan masa depan kita.