Skip to content

Hidup Hanya Satu Kali

 

Kalimat, “Ingat! Hidup ini hanya satu kali” tentu sudah pernah—bahkan sering—kita dengar. Kita tidak boleh salah memilih. Kesalahan memilih jodoh itu, fatal. Kesalahan memilih sembahan, lebih fatal lagi. Maka kita tidak boleh anggap remeh untuk satu hal ini. Dalam doa berulang-ulang kita mengucapkan kalimat, “Aku memilih Engkau, Tuhan. Aku mau sungguh-sungguh percaya kepada-Mu dan tidak meragukan Engkau sama sekali. Aku memilih hidup tidak bercacat, tidak bercela. Aku memilih menjadi sempurna seperti Bapa. Aku memilih hidup hanya untuk kesukaan-Mu. Aku memilih menjadi anak kesukaan-Mu. Aku memilih melayani perasaan-Mu. Bukan sekadar melayani pekerjaan gereja, melainkan melayani perasaan-Mu, detik per detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari. Hidup hanya menjadi kesukaan hati Bapa di surga. Bak bunga yang berbau harum, ibarat simfoni yang terdengar merdu.” 

Kalimat “Ingat! Hidup hanya satu kali” menjadi tidak sederhana ketika kita diperhadapkan kepada pilihan: Tuhan atau bukan. Kuasa kegelapan bermanuver, terus menggeliat, bergerak membawa hidup manusia dengan prinsip ABT (Asal Bukan Tuhan)—bisa diri kita sendiri, bisa apa pun—padahal kita harus memilih. Namun, untuk memiliki Tuhan dan dimiliki Tuhan, harganya adalah seluruh hidup kita. Kalau kita melihat kehidupan bangsa Israel, mereka masih hidup dalam fokus pemenuhan kebutuhan jasmani sebagai orientasi hidupnya. Sementara mereka menikmati dunia dengan segala fasilitasnya, mereka beribadah kepada Allah Israel atau Elohim Israel. Dan selama mereka hidup di dalam ketaatan, Allah memberikan mereka kemakmuran, panen raya yang baik, menang atas musuh-musuh, kesehatan dan menghalau semua epidemi dan pandemi penyakit; itulah standar hidup pada umumnya orang beragama. Mereka mempertahankan Tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Allah kepada Abraham untuk keturunannya. 

Tetapi, bagi orang percaya, tidaklah demikian. Kita juga keturunan Abraham di dalam iman, yang Alkitab katakan sebagai Israel rohani. Kerajaan Allah bukan soal makan dan minum, melainkan kebenaran, damai sejahtera, sukacita oleh Roh Kudus. Tanah air kita, tanah perjanjian kita bukan di Bumi ini, tetapi di langit baru bumi baru. Kota suci kita bukan Yerusalem, melainkan Yerusalem baru. Bagi kita berlaku prinsip: “Asal ada makanan, pakaian cukup;” “Bagiku hidup adalah Kristus, bukan apa pun, dan mati adalah keuntungan, karena ketika mati, kita berhenti dari setiap kelelahan, dan kematian merupakan tangga untuk menjumpai yang kita kasihi, Tuhan Yesus Kristus.”

Kekristenan yang dianut banyak orang Kristen hari ini adalah kekristenan yang telah mengalami kemerosotan. Kristen yang mengalami devaluasi, bukan Kristen yang murni, yang orisinal, melainkan Kristen yang telah dimodifikasi. Dalam perjalanan sejarah, terjadi banyak kompromi dan penyesuaian atau konformisme dengan dunia, bukan kekristenan yang sejati. Sebab, Kristen sejati cirinya cuma satu: menjadi serupa dengan Kristus. Kurang dari itu, palsu. Kekristenan yang sejati itu berkodrat ilahi seperti Bapa, must be perfect, kurang dari itu, bukan Kristen. Banyaknya ilmu teologi, bukan menjadi modal atau landasan hidup dalam kita berselancar di dunia sebagai seorang anak Allah. Ada yang kurang, yaitu perjumpaan dengan Tuhan yang memadai. Semakin berumur, perjumpaan dengan Tuhan secara riil harus semakin berlangsung. 

Dalam Matius 6:24, Tuhan berkata, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Segenapnya untuk Tuhan atau tidak usah sama sekali. Di ayat lain, Tuhan juga berkata, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan kekuatan.” Bukan lagi berbicara berapa banyak yang kita berikan untuk Tuhan, melainkan apakah masih ada sisa yang kita genggam. Dan bagi orang yang sudah telanjur jauh memiliki dirinya sendiri, ia tidak akan sanggup menjalani ini, kecuali ia mau meratap kepada Tuhan untuk menunjukkan jalan-Nya. Di saat seperti itu, baru kita sadar betapa agung dan mulianya Tuhan, yang sering kita anggap murahan. Sejujurnya, kita sering memberi remah-remah, kita tidak melihat ukuran Tuhan, tapi membuat ukuran sendiri; mata kita, kita tutup terhadap kata ‘segenap,’ karena kita punya persentase sendiri. Kita tidak menghormati Tuhan secara pantas.  

Masalahnya, kita sudah biasa memiliki dinamika kekristenan palsu, dinamika kekristenan yang sebenarnya bukan kekristenan murni yang Tuhan inginkan. Maka, kita mesti berani berkata, “Kurang apa lagi, Tuhan? Apakah ada bagian hidupku yang masih kupertahankan? Apakah ada kesenangan-kesenangan dalam diriku yang membuat Engkau cemburu, dan Engkau memandang aku tidak setia?” Jangan sampai nanti di hadapan Tuhan, Tuhan berkata, “Aku tidak kenal kamu.” Tuhan merasa dan Ia tahu seberapa kita serius dengan-Nya, seberapa kita mengasihi Tuhan.