Skip to content

Hidup dalam Hubungan yang Intim

Kita harus bergumul dengan sungguh-sungguh, untuk mengetahui apakah kita benar-benar disertai Tuhan. Kalimat lain yang lebih tepat, apakah kita hidup dalam persekutuan yang benar dengan Allah. Jangan puas dengan keyakinan pikiran atau fantasi. Keyakinan di dalam pikiran itu bisa situasional. Hari ini yakin, besok kurang yakin, lain waktu bisa tidak yakin sama sekali. Fantasi lebih bersifat situasional, karena tidak memiliki dasar atau landasan. Tidak mudah untuk benar-benar membuktikan apakah kita ada di dalam penyertaan Tuhan atau tidak. Dengan kalimat yang lebih tepat, apakah kita benar-benar di dalam persekutuan yang ideal dengan Allah atau tidak. 

Kita harus merasa berutang, merasa gusar, merasa tidak nyaman sebelum kita benar-benar yakin bahwa kita ada dalam penyertaan Tuhan atau berada di dalam hubungan yang intim dengan Tuhan. Banyak orang tidak peduli hal itu. Sejujurnya, kita pun tidak pernah atau kurang mempersoalkan apakah kita telah hidup di dalam penyertaan Tuhan atau tidak. Padahal ini adalah hal yang paling prinsip. Apalagi bagi seorang hamba Tuhan, itu mutlak. Kalau kita tidak sungguh-sungguh, mengerikan. Maka kiranya renungan ini benar-benar mengubah peta hidup kita. Kedengarannya hal ini seperti mengada-ada, tetapi ini hal yang prinsip dan fundamental. 

Kalau seseorang bertanya kepada kita, “Apakah Anda disertai Tuhan?” Rata-rata kita akan menjawab, “Amin.” Kalau ditanya kemudian, “Apa verifikasi atau pembuktian bahwa Anda hidup di dalam penyertaan Tuhan?” Apa jawab kita? Pertanyaan yang kedua ini mungkin tidak perlu dijawab atau tidak bisa dijawab karena setiap kita harus punya kesaksian dalam batin bahwa kita hidup di dalam penyertaan Tuhan atau hidup dalam keintiman dengan Tuhan. Hal ini tidak bisa dibuktikan untuk orang lain, atau tidak perlu dibuktikan untuk orang lain. Tetapi kita pasti punya kesaksian dalam batin. Kesaksian di dalam batin ini pasti mewarnai hidup kita, pasti akan nampak dari buah-buah hidup. 

Adapun ciri orang yang hidup dalam penyertaan Tuhan, yang pertama, tidak takut. Dalam hal ini, kalau kita benar-benar ada dalam penyertaan Tuhan dan kita hidup di dalam penghayatan terhadap realitas hidup dalam penyertaan Tuhan tersebut, maka sulit untuk kita memiliki perasaan takut. Bisa, tetapi sulit. Sebagaimana ketika kita diajak naik jet coaster. Kitalah yang bisa mengukur, seberapa tingkat keberanian di dalam batin kita. Ada kesaksian dalam batin. Kita harus memperkarakan itu. Jadi, ketika kita mudah takut, mudah gelisah, mudah cemas, tentu kita dapat yang mengenali diri sendiri. Carilah Tuhan dengan sungguh-sungguh lewat firman, doa, meditasi, dan lainnya. Sampai nanti kita akan bisa merasakan perubahan itu. 

Yang kedua, membenci dosa. Biasanya seseorang tidak berbuat dosa dasarnya karena takut dilihat orang, malu. Yang benar adalah seberapa kita merasa resisten, jijik terhadap dosa? Yang tahu siapa? Tentu diri kita sendiri. Bagaimana respons atau reaksi kita terhadap impuls atau rangsang dosa? Orang-orang yang belum takut akan Allah, masih mudah berbuat dosa. Masih bisa, paling tidak dengan 1001 alasan. Misalnya, “Saya sebenarnya tidak mau berbuat dosa, tetapi karena kepepet, terpaksa saya lakukan.” Atau, “Tuhan, kali ini saja. Besok aku tidak berbuat dosa lagi.” Tetapi kalau kita hidup dalam penyertaan Tuhan, menghayati penyertaan Tuhan, dalam persekutuan yang intim dengan Tuhan, kita tidak akan berkata begitu. Tidak ada pembenaran seperti itu. 

Kita benar-benar membenci dosa. Kebencian terhadap dosa sebenarnya impartasi dari kekudusan Allah. Firman Tuhan dalam 1 Petrus 1:16 mengatakan, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Apakah mungkin? Pasti mungkin dan kita harus bisa. Karena Tuhan yang berfirman, dan tidak mungkin Tuhan memberikan kita perintah yang kita tidak bisa lakukan. Bahkan, seandainya Tuhan memberikan kita perintah yang tidak bisa kita lakukan pun kita akan tetap melakukannya; “Apa pun yang Kau perintahkan padaku, Tuhan, kulakukan.” Dan itu adalah kesetiaan yang patut untuk Tuhan semesta alam. Kalau orang bisa melukai diri, mati atau menderita demi kepentingan seorang raja atau negara yang belum berbuat apa-apa untuk dirinya, maka kepada Tuhan yang jelas-jelas telah menciptakan kita, menyelamatkan kita, yang mana kita berutang kehidupan dan berutang kebaikan, mestinya kita bersedia melakukan apa pun. 

Jadi, kalau kita masih mudah jatuh dalam dosa, berarti kita harus jujur mengukur diri kita sendiri. Pasti kita belum hidup dalam penyertaan Tuhan yang ideal, belum hidup dalam persekutuan yang intim dengan Tuhan. Dalam hal ini, kita harus terus menambah intensitas berdoa, meditasi, dan mendengar firman. Sehingga nanti kita akan melihat perubahan yang nyata terjadi di dalam hidup kita. 

Kita harus merasa berutang, merasa gusar, merasa tidak nyaman

sebelum kita benar-benar yakin bahwa kita ada dalam penyertaan Tuhan

atau berada di dalam hubungan yang intim dengan Tuhan.