Roma 6:4
“Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
Hidup ini berdinamika, dan Allah bisa menganugerahkan kebenaran-kebenaran yang lebih akurat sesuai dengan zaman. Kebenaran harus didasarkan pada Alkitab, bukan pada asumsi manusia atau premis mana pun. Sekarang yang penting, mau melakukan kehendak Bapa atau tidak? Itu masalahnya. Ironisnya, justru orang-orang yang memiliki arogansi mengenai doktrin keselamatan ini, mereka tidak mengenal keselamatan. Bangga dengan keyakinan yang mereka miliki, tapi perilakunya tidak menunjukkan keagungan seorang yang akan masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga. Jadi, kalau di abad-abad pertengahan orang-orang memiliki doktrin ini, mungkin dunia belum jahat seperti hari ini, dan banyak orang-orang baik. Tapi hari ini, kalau kita pegang doktrin keselamatan yang salah, pasti rusak. Jadi, keselamatan tidak diselesaikan di dalam area doktrin, tetapi dalam kehidupan secara konkret.
Keselamatan hanya dalam Kristus, titik. Jangan kita mengatakan ada keselamatan di luar Kristus. Tidak ada, karena semua dosa manusia itu dipikul oleh Yesus. Yang kita bahas untuk meluruskan ajaran keselamatan adalah mengenai pertobatan. Pertama, pertobatan bagi bangsa Israel atau umat Perjanjian Lama, sebelum Taurat diberikan. Apa itu? Perubahan atau berhenti dari perbuatan yang tidak diperintahkan oleh Allah. Karena memang tidak ada hukum. Tetapi kalau ada perbuatan di luar yang diperintahkan Allah, harus berhenti, harus berubah. Kedua, pertobatan bagi bangsa Israel di Perjanjian Lama setelah Taurat diberikan adalah perubahan dari melanggar Taurat, tidak menyembah Yahweh, jadi melakukan hukum Taurat dan beribadah kepada Yahweh. Ketiga, pertobatan bangsa-bangsa di luar Israel. Mereka bertobat dari apa yang sebenarnya mereka tahu harus dilakukan. Jadi, bangsa Niniwe itu pasti memiliki semacam hukum atau budaya atau ukuran moral yang seharusnya mereka tegakkan, tapi mereka tidak melakukan. Ini sinkron dengan Kitab Roma yang mengatakan bahwa Allah menulis Taurat di hati semua orang (Rm 2:15).
Orang-orang ini akan dihakimi menurut perbuatan yang tertulis di hati mereka. Kalau sampai ada pengadilan, berarti ada perhitungan. Tentu ada orang-orang yang akan bisa dipertahankan masuk dunia yang akan datang karena mereka akan dihakimi menurut perbuatan. Keempat, pertobatan yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis, ini pertobatan untuk memiliki kesetiaan melakukan yang diingini oleh Allah. Ini dimaksud dengan “mempersiapkan jalan bagi Tuhan,” artinya mempersiapkan diri sebelum mendengar Injil. Dan ternyata, mereka harus memiliki pertobatan, yang intinya kesetiaan melakukan apa pun yang Allah perintahkan. Abraham memiliki iman seperti ini. Yang Allah perintahkan, dia lakukan. Makanya seseorang harus memiliki kesetiaan dulu, baru mengikut Yesus. Kesediaan untuk melepaskan segala sesuatu baru bisa diubah.
Pertobatan harus, tetapi bukan hanya meninggalkan pelanggaran moral umum, harus dengan kesediaan melakukan apa pun yang Allah kehendaki, baru jadi murid. Yohanes Pembaptis mengajak bertobat untuk membawa manusia pada level ini, dalam hal ini umat pilihan orang Israel pada waktu itu. Dan orang-orang kafir yang menjadi orang Yahudi atau beragama Musa, jadi beragama Yahudi. Kesediaan melakukan apa pun yang Allah perintahkan, baru mengikut Yesus. Alkitab berkata begitu. Tidak tahu, bagaimana sekarang ini orang menyamakan kekristenan dengan agama lain. Bertobat, jadi baik, lalu selamat. Ketika Yesus memberitakan Injil, sebenarnya Yesus meneruskan baptisan Yohanes Pembaptis. Lalu dilanjutkan kebenaran Injil yang akan membawa umat kepada kesempurnaan seperti Bapa. Tapi harus memiliki dulu kesediaan melakukan apa pun yang Allah perintahkan.
Jadi melalui baptisan Yohanes, bangsa Israel diajar untuk memiliki iman seperti nenek moyangnya, seperti Abraham. Iman Abraham itu tindakan. Maka Zakheus setelah memberi separuh hartanya kepada orang miskin, kalau ada orang pernah dia peras, dia kembalikan empat kali lipat. Tuhan Yesus berkata, “Orang ini anak Abraham.” Bukan karena Yahudinya, melainkan karena tindakannya. Kesalahan banyak orang Kristen, mereka merasa kalau sudah dibaptis, berarti sudah hidup baru. Paulus mengatakan di Roma 6:4, “Kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Kata ‘baru’ di sini artinya apa? Kalau ‘baru’ hanya sekelas, sejajar dengan orang non-Yahudi menjadi Yahudi, tidak tepat. Kalau ‘baru’ hanya sekadar dibaptis seperti baptisan Yohanes Pembaptis, untuk memiliki kesediaan melakukan apa yang Allah kehendaki, itu baru permulaan. Hidup baru berarti kehidupan yang standarnya Yesus. Maka firman Tuhan mengatakan kita harus memiliki pikiran dan perasaan Kristus.