Dinamika hidup ilahi ditentukan oleh kualitas hubungan kita dengan Tuhan, yaitu sejauh mana hati kita melekat kepada-Nya. Karena itu, pikiran kita harus senantiasa tertuju kepada Tuhan. Tentu, kita tetap harus menyediakan waktu untuk keluarga, pekerjaan, dan tanggung jawab lainnya, tetapi fokus utama hidup kita adalah Tuhan, hingga hal itu menjadi ritme yang tetap dalam kehidupan.
Memang, waktu kita banyak tersita oleh pekerjaan dan upaya mencari nafkah. Namun, pasti ada celah waktu untuk memiliki “me time” bersama Tuhan, dan itulah yang harus menjadi prioritas. Kita perlu berani mengorbankan tontonan yang tidak bermanfaat, serta pertemuan-pertemuan yang tidak membangun, agar hidup kita digarami oleh kehadiran Tuhan. Barulah kita dapat berkata: “Tuhan dan Kerajaan-Mu adalah segenap hidupku.”
Sekiranya kita diberi usia hidup seribu tahun dan menjalani kehidupan dengan kebiasaan seperti ini, mungkin belum tentu cukup untuk mengenal dan mengalami Allah yang tidak terbatas. Apalagi kita hanya memiliki waktu hidup sekitar 70 hingga 100 tahun. Memang, terkadang kita merasa belum sungguh-sungguh mengalami Tuhan, padahal kita telah berusaha dengan segenap hati untuk mencari-Nya. Kita juga kerap merasa pertumbuhan rohani kita sangat lambat. Secara jujur, perasaan tersebut bisa membuat kita menjadi tawar hati.
Di sinilah dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Kita harus tetap mencari Tuhan. Apalagi ketika kita berada dalam kondisi sulit, dan seolah-olah Tuhan tidak peduli terhadap pergumulan hidup kita—padahal kita sudah berusaha hidup suci, berdoa, bahkan berpuasa. Namun, keadaan hidup kita tetap tampak berantakan, dan Tuhan seakan menutup mata terhadap permasalahan kita. Dalam situasi seperti ini, kita dituntut untuk tetap tekun. Ini merupakan bagian dari proses pendewasaan rohani.
Karena itu, kita harus berani mempercayai bahwa hanya Tuhan yang benar-benar berharga. Tidak ada yang lebih bernilai dibandingkan Tuhan. Tidak ada kepastian dalam hidup ini selain Tuhan. Kita pun dapat berkata, “Aku tak sanggup berjalan sendiri. Aku tak berani melangkah sendiri, karena hanya Engkaulah jaminan hidupku, ya Tuhan.” Namun, memercayai Tuhan sebagai satu-satunya kepastian hidup bukanlah hal yang mudah, sebab Tuhan tidak kelihatan secara fisik.
Jika kita mencermati tokoh-tokoh besar dalam Alkitab, sering kali Tuhan membawa mereka kepada kondisi-kondisi yang sangat kritis. Orang-orang besar pasti mengalami hal ini. Misalnya: Abraham harus menunggu kelahiran anaknya selama 25 tahun, lalu diperintahkan untuk mempersembahkan Ishak. Yusuf dijerumuskan ke dalam sumur, lalu ke penjara, atas tuduhan palsu. Musa harus menghadapi Laut Kolzum dengan bukit di kiri-kanannya dan laut di hadapannya. Daniel harus masuk ke gua singa. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego harus menghadapi dapur api yang menyala-nyala. Mereka adalah pribadi-pribadi besar, kekasih TUHAN, yang pada akhirnya akan bersama Yang Mahabesar dan Mahamulia, Elohim YAHWEH, di Kerajaan Surga.
Lalu, pertanyaannya: Apakah kita juga memiliki hak istimewa seperti mereka? Jawabannya: ya, tetapi hal itu bergantung pada kita. Tuhan pasti menyediakan opsi atau pilihan, namun bergantung pada seberapa besar keberanian kita untuk membayar harga dari pilihan itu. Maka dari itu, kita harus memiliki jiwa nekat secara rohani, bukan nekat buta, tetapi nekat yang lahir dari kerinduan untuk memilih yang terbaik.
Kesibukan yang tidak perlu harus kita hindari. Pasti ada celah-celah waktu untuk me time bersama Tuhan. Dalam momen itulah kita membangun relasi khusus dengan Tuhan, sehingga seluruh kegiatan hidup kita menjadi media, menjadi sarana, menjadi ruang di mana kita tetap terhubung dengan-Nya. Bahkan setiap aktivitas yang kita lakukan menjadi persembahan bagi Tuhan: “Baik kamu makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Jadi, kita melakukan segala sesuatu untuk Tuhan dan berdasarkan pengertian yang benar akan firman-Nya. Dari khotbah yang kita dengar, dari pembacaan Alkitab pribadi, dari doa-doa yang kita panjatkan, Tuhan memberikan kepada kita inspirasi-inspirasi rohani yang menjadi dasar untuk hidup bagi-Nya. Maka kita dapat berkata dengan penuh keyakinan: “Tuhan dan Kerajaan-Mu adalah segenap hidupku.”
Orang yang hidup demikian pasti akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, sebab dinamika hidup anak-anak Allah yang berjalan bersama Tuhan sejak di bumi akan berlanjut di dalam kekekalan.