Skip to content

Hati Nurani

 

Memahami hal hati nurani sangat penting, sebab hal ini berkaitan dengan proses hidup dipimpin Roh, juga berkenaan dengan sempurna seperti Bapa. Jadi, ini adalah jantung hidup kekristenan, masalah yang sangat fundamental. Orang yang hati nuraninya terbentuk atau terbangun oleh kebenaran-kebenaran Allah akan menjadi hati nurani ilahi. Dan prosesnya bisa berpuluh tahun, sampai seseorang akan mengerti kehendak Allah—apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Di sini, hati nurani ilahi tersebut, sungguh dapat mewakili suara Allah. Dalam segala pertimbangan serta keputusannya, akan sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Ingat, firman Tuhan mengatakan, “Bukan orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan,’ masuk Kerajaan Surga, tetapi orang yang melakukan kehendak Bapa.” Melakukan kehendak Bapa sesuatu yang abstrak. Kalau melakukan hukum, jelas ada rumusan tertulis, ada deskripsi tertulis, ada penafsiran hukum yang bisa membuat masing-masing orang memiliki keseragaman.

Berbicara mengenai melakukan kehendak Allah, atau sama dengan melakukan apa yang diingini-Nya, itu abstrak. Kalau seorang anak melakukan apa yang diingini bapaknya, atau seorang isteri melakukan apa yang diingini suami, maka ia harus mengenal betul siapa orang tua atau siapa suaminya. Kalau tidak kenal, ia akan berkata, “Aku nggak ngerti, loh, maunya dia itu apa.” Namun kita tidak bisa berkata begitu kepada Tuhan, “Aku tidak ngerti apa maunya Tuhan.” Mengenal dan memahami seseorang itu sulit. Apalagi manusia bisa penuh intrik, kelicikan dan munafik, “Dalam laut dapat diduga, hati orang siapa tahu?” Sudah menikah beberapa puluh tahun, isteri bisa berkata, “Aku tidak mengerti suamiku; aku rasanya tidak mengenal dia.” Memahami apa yang dimaui dan mengerti apa yang diingini oleh manusia saja sulit, apalagi yang tidak kelihatan.

Berbeda dengan Tuhan. Tuhan tidak ada intrik, Tuhan tidak ada kemunafikan. Dia berjanji, “Siapa yang mencari Aku, akan menemukannya.” Itu berarti kita dimungkinkan mengenal Allah dan memahami apa yang dimaui-Nya. Jadi, kalau Alkitab berkata kita harus mengalami pembaharuan pikiran supaya kita mengerti kehendak Allah—apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna—itu berarti ada potensi untuk mengerti apa yang diingini Tuhan. Hati nurani yang didewasakan akan sampai pada level di mana dia memahami apa yang diingini oleh Tuhan. Dan kemungkinan itu ada, sebab Tuhan sendiri yang berkata, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga engkau mengerti kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna.” 

Allah memiliki kesempurnaan di dalam diri-Nya. Roh, yaitu unsur keilahian-Nya, dan kesadaran telah menyatu sempurna dalam kesucian, menyatu sempurna dalam kesempurnaan moral. Pada pribadi Allah, tidak ada niat jahat sama sekali, dan Dia tidak akan dapat berbuat suatu kesalahan. Ia tidak berubah. Tetapi sebaliknya, Iblis juga memiliki roh yang adalah unsur kehidupan dan jiwa yang adalah unsur kesadaran telah menyatu dalam kejahatan atau kegelapan yang sempurna. Iblis tidak akan bisa berbuat sesuatu yang benar. Ia pun juga tidak bisa berubah. Artinya, ia hanya bisa berbuat apa yang jahat. Tuhan Yesus mengatakan, “Kalau ia mengucapkan dusta, ia melakukan dari dalam dirinya.” Iblis melakukan kesalahan, dosa itu terlahir dari dalam dirinya dan tidak bisa berubah lagi, artinya tidak bisa diperbaiki; sedangkan kalau manusia masih bisa diperbaiki. Oleh sebab itu, pengampunan yang Tuhan berikan itu pasti disertai dengan perubahan. Artinya, harus ada perbaikan. Jika seseorang bertobat minta ampun berarti ia bersedia untuk diperbaiki.

Ketika Tuhan Yesus berbicara, “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu,” di Yohanes 8:44, Dia berkata kepada sekelompok orang Yahudi yang tidak bisa diubah lagi. Namun ayat sebelumnya, ayat 31-32 katakan, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. Dan apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Masalahnya, kita mau dimerdekakan atau tidak?

Paulus berkata kepada jemaat Korintus, di 2 Korintus 11:2-3, “Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya.” Dalam ayat ini Paulus menekankan betapa pentingnya pikiran, hati nurani. Kalau hati nurani kita sudah rusak atau gelap, maka gelaplah hidup kita. Sejajar dengan ayat yang mengatakan, “Mata adalah pelita tubuh. Kalau matamu gelap, gelaplah seluruh tubuhmu.” Kalau hati nurani seseorang sudah gelap, sudah tumpul, gelaplah seluruh hidupnya. Coba bayangkan, ada seorang bapak yang membonceng isteri, tertabrak truk, motornya ringsek. Si bapa tergeletak tak sadarkan diri, ibunya setengah mati mencoba untuk meraya ke pinggir jalan. Lalu, seseorang datang seolah-olah mau menolong, namun ternyata malah mengambil tas ibu itu, lalu kabur. Hati nuraninya sudah sangat terbalik dari nurani orang baik pada umumnya. Bagaimana dengan kita?