Ada orang tua yang pernah berkata bahwa tidak mudah menjadi orang tua. Hal itu dikatakan pasti berkaitan dengan masalah yang dihadapi, berkenaan dengan anak, dan itu biasanya karena anak nakal, sukar diatur. Orang tua mengasihi anak-anaknya sedemikian rupa, sehingga hal itu menyusahkan dirinya. Coba, kalau dia tidak memiliki kasih, ia akan menjadi lebih tenang. Tetapi oleh karena ada ikatan batin, ada perasaan kasih yang mendalam, maka melihat keadaan anaknya tersebut, hatinya susah. Kalau anaknya terlibat suatu kejahatan yang ada sanksi hukumnya, misalnya tindakan kriminal berkaitan dengan narkoba, orang tua ikut terseret dalam berbagai kesulitan. Orang tua tidak bisa tinggal diam sebab keadaan anaknya itu pasti mempengaruhi perasaan serta mengganggu jiwanya dan menjadi kepikiran. Kasihnya kepada anak menggerakkan orang tua berbuat apa pun demi keselamatan dan perbaikan anaknya.
Pernahkah kita berpikir bahwa Allah Bapa di surga juga memiliki pergumulan seperti ini? Manusia memiliki roh dari Allah. Manusia adalah anak-anak-Nya dan Allah pasti mengasihi anak-anak-Nya. Demi keselamatan manusia, Allah mengutus Putra Tunggal-Nya untuk kita. Dalam berkeadaan sama seperti kita, ada kemungkinan kalau Putra Tunggal-Nya gagal dalam misi penyelamatan sehingga tidak akan pernah naik ke surga. Ini sebuah pertaruhan yang sangat mahal, pertaruhan yang sangat tinggi risiko. Dan setelah Putra Tunggal-Nya berhasil, belum selesai tugas Bapa, karena “Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia.”
Jadi, dari pihak Allah sebagai Bapa, Ia telah bertindak demikian. Lalu pertanyaanya, bagaimana dari pihak kita? Seharusnya dari pihak kita ada langkah-langkah konkret yang mengimbangi perjuangan Tuhan Yesus serta mengimbangi kasih Allah Bapa, yang telah berkenan memberikan Putra Tunggal-Nya. Ini adalah panggilan yang harus ditunaikan oleh setiap orang Kristen. Tanpa berusaha memenuhi panggilan ini, seorang Kristen tidak akan pernah menjadi anak-anak Allah. Kalau orang tua memiliki standar kesantunan dan moral yang tinggi, anaknya juga dituntut memiliki standar moral dan kesantunan yang tinggi. Kalau orang tuanya seorang akademisi, seorang yang berpendidikan tinggi, katakanlah seorang doktor, dia tidak akan pernah merasa puas kalau anaknya hanya lulus SMA. Berbeda kalau bapaknya seorang pemulung, ibunya seorang tukang cuci pakaian, anaknya jual gado-gado dengan omzet 4-5 juta. Dan itu pun ada yang ingin anaknya sekolah tinggi.
Sekarang, kita adalah anak-anak Allah, dan Bapa merebut kita menjadi anak-anak-Nya dengan pertaruhan yang tinggi. Lalu, apa balasan kita? Bapa kita adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Yang ketika mengadopsi kita, di situ kita memiliki panggilan, Alkitab mengatakan, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Sejujurnya, kalau dari sisi hidup di dunia, kita susah menjadi anak-anak Allah. Jangan dipikir enak. Justru sangat sulit. Sebab ketika kita menjadi anak-anak Allah, kita harus sempurna seperti Bapa di surga sempurna. Kita harus kudus sebab Bapa di surga kudus, supaya kita menjadi anak-anak Allah yang tidak beraib dan tidak bernoda. Standarnya tinggi. Menjadi anak-anak Allah dalam konteks hidup di dunia membuat kita sulit, membuat kita berat dan susah.
Namun ada yang berpendapat bahwa kalau menjadi anak Tuhan, pasti diberkati. Soal berkat jasmani, ada mekanismenya, artinya kalau kita kerja keras, kita diberkati. Kalau kita menjaga pola hidup, pola makan yang baik, maka kita sehat. Kalau tidak, biar anak Tuhan, tetap susah. Tidak kerja keras, pasti miskin. Kalau kita tidak rajin, tidak kerja keras, lalu diberkati, itu bukan dari Tuhan. Jadi tetap sulit dan kesulitannya terletak pada bagaimana kita memenuhi tanggung jawab. Seharusnya, yang kita persoalkan hari ini adalah, apakah aku sudah menjadi anak yang berkenan di hadapan Tuhan? Namun ironis, masih ada orang ke gereja hanya urusan supaya diberkati secara finansial. Ayo kita sadar, kalau kita ada sebagaimana ada hari ini, karena Tuhan.
Kita sudah melihat dan membuktikan bagaimana kita telah melewati hari-hari hidup kita dengan masalah, bukan? Kita sudah nyaris tenggelam, nyaris hanyut, tapi kita tidak hanyut. Tuhan begitu setia. Jangan persoalkan soal kebaikan Tuhan, Dia sangat amat baik. Sekarang kita persoalkan diri kita; kita berkenan tidak di hadapan Tuhan? Oleh sebab itu, jangan menganggap menjadi anak-anak Allah seperti yang diinginkan Bapa adalah hal yang mudah. Tapi juga jangan berpikir ini hal yang mustahil. Bagaimana kita tahu kalau kita diakui sebagai anak oleh Bapak di surga? Kita merasa bahwa keadaan kita sebagai anak-anak Allah ini sebuah status karena Allah mengakuinya. Salah satu kebodohan banyak orang hari ini, ketika orang menganggap bahwa menjadi anak-anak Allah itu hanya sebuah status dari pengakuan Allah.