Skip to content

Godaan Terbesar

 

Pada umumnya, godaan terbesar dalam kehidupan kita adalah berpusat pada diri sendiri tanpa kita sadari. Kita harus ingat bahwa proses pendewasaan atau proses kesempurnaan itu berlangsung sampai kita meninggal dunia. Proses pendewasaan, proses penyempurnaan atau kesempurnaan adalah proses menjadi segambar dan serupa dengan Allah, proses mengenakan kodrat ilahi, proses mengambil bagian dalam kekudusan Allah, proses sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Jangan sampai proses ini berhenti. Setan menipu anak-anak Allah dengan mimpi duniawi. Yang belum lulus STT, mimpinya sudah jadi gembala. Jadi pada waktu ia menjadi pengerja, mimpi jadi gembala. Senang untuk mendapat pos PI walaupun kecil, dikembangkan jadi gereja, lalu jadi gembala. Kalau tidak kunjung diangkat jadi gembala di pos PI, keluar dari gembala induk supaya cepat menjadi gembala.
Tanpa disadari, kita lupa bahwa mestinya yang pertama kita bangun adalah diri kita sendiri. Bagaimana kita benar-benar menjadi manusia Allah, dipenuhi oleh Allah, menjadi manusia yang sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia ini. Yang harus menjadi tujuan kita, jangan yang lain. Ini menjadi kamuflase, bagaimana memuaskan keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup.
Keinginan daging ini meliputi kuliner dan seks. Seks, terutama. Ini tentu akan memiliki sanksi sosial yang besar. Maka dihindari, bisa. Keinginan mata itu mengingini milik atau barang yang orang lain punya. Sedangkan keangkuhan hidup, ini bicara posisi, harga diri. Kalau posisi sudah didapat, di dalamnya memperoleh fasilitas, baru bisa memuaskan keinginan mata. Kalau keinginan mata bisa dipuaskan, dia berkuasa, dia bisa memuaskan keinginan daging.
Dan yang mengerikan adalah Allah diam. Seakan-akan Allah tidak terganggu pada waktu kita hidup tidak tepat seperti yang Allah inginkan. Jadi yang sekarang kita harus gumuli adalah bagaimana kita memiliki perkembangan untuk menjadi manusia Allah, benar-benar menjadi orang yang tidak bercacat, tidak bercela, benar-benar menjadi kudus di dalam seluruh hidup kita. Setiap perkataan, gerak pikiran, perasaan, dan perbuatan kita harus presisi; harus tepat seperti yang Allah kehendaki. Itulah kesucian. Kesucian bukan hanya keadaan tidak bersalah atau keadaan dalam ketidakbersalahan. Kalau di agama-agama, begitu; karena tidak melakukan pelanggaran, maka suci. Tetapi di dalam kekristenan, kesucian itu tindakan. Tuhan membawa kita kepada persoalan demi persoalan, pergumulan demi pergumulan yang membuat kita harus bertindak, harus mengambil keputusan, harus melakukan sesuatu. Dan yang kita lakukan itu harus presisi, harus tepat seperti yang Allah kehendaki.
Pada waktu kita dalam keadaan tertindas, miskin, lemah, di titik terendah, bagaimana kita merespons? Respons pertama ada di pikiran dan perasaan kita. Mengeluh, marah, kecewa, dan akan bisa terekspresi dalam perbuatan. Kalau tidak terekspresi dalam waktu dekat, itu dalam waktu tertentu akan muncul. Mungkin saat ini tidak ada orang yang lihat. Dia hanya melihat saja lalu senyum, sudah bermain. Sudah jadi perilaku di mata Allah.
Kita tidak bisa mengharapkan keadaan lingkungan kita baik-baik. Kita yang berusaha keadaan kita baik-baik di mata Allah. Lingkungan tidak akan baik. Jadi, kita sekarang harus lebih ke teosentris. Kalau dulu kita antroposentris, egosentris. Ketika kita berpusat pada proses pendewasaan diri, berorientasi pada pembinaan diri bagaimana mencapai kesempurnaan, maka nanti kita akan menjadikan objek pelayanan kita itu manusia, bukan benda. Bukan aktivitas dengan turunannya, posisi dengan turunannya, sarana gereja dengan turunannya. Mestinya kita punya pikiran hanya satu saja: bagaimana menjadi anak kesukaan Allah, bagaimana menyenangkan hati-Nya melalui tindakan-tindakan yang presisi. Allah tidak disukakan, tidak digirangkan hanya dengan keadaan kita tidak bersalah. Karena untuk orang percaya itu standarnya sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48), dan berkenan kepada Allah (2 Kor. 5:9-10).
Bagaimana kita bisa menyenangkan hati Allah? Tentu harus ada dalam dinamika hidup; mengambil keputusan, harus bertindak. Tindakan-tindakan kita itu presisi; tepat seperti yang Allah kehendaki. Waktu dihina orang, bagaimana respons kita? Sebaliknya, waktu kita dihormati, bagaimana respons kita? Waktu banyak uang, waktu tidak punya apa-apa. Pada waktu ada di meja makan, pada waktu mengobrol di meja, di kafe, minum kopi, ketemu teman-teman, setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan presisi, tidak? Ketika kita melihat orang yang berkekurangan, bagaimana reaksi kita? Jadi sekarang yang penting, kita harus membenahi perasaan, pikiran, perkataan, tindakan, ucapan agar selalu presisi. Orang Kristen itu tidak boleh meleset, harus tepat. Dan ini harus kita gumuli dengan serius, dan pergumulan ini sepanjang umur hidup kita.