Satu per satu kesenangan dunia harus kita lepaskan, karena itu yang menjadi beban kita. Ibarat terbang, kita tidak bisa punya sayap yang membawa kita tinggi terbang menuju kemuliaan Allah. Kita harus selesai dengan diri sendiri, yaitu ketika kita tidak lagi terikat dengan kesenangan dunia. Kesenangan kita hanya Tuhan, kebahagiaan kita hanya Tuhan, tidak ada lagi yang kita nantikan di bumi ini. Dan jika itu kita miliki, baru kita bisa merindukan bertemu muka dengan muka dengan Tuhan Yesus. Coba selidiki hati kita, seberapa kita punya kerinduan bertemu Tuhan? Jangankan jemaat, aktivis dan pendeta pun belum tentu punya kerinduan bertemu dengan Tuhan Yesus.
Kalau kita sudah mulai tidak punya kerinduan bertemu dengan Tuhan Yesus, pasti ada yang salah dalam diri kita, sebab itu adalah gejala pengkhianatan, perselingkuhan, atau ketidaksetiaan kepada Tuhan. Jangan seperti lima gadis bodoh yang akhirnya tidak sempat punya waktu mempersiapkan minyak, sebab mereka menyia-nyiakan anugerah, waktu yang Tuhan berikan. Maka, jangan menoleh ke belakang, jangan mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Tak menoleh. Karena hukumnya adalah hanya kalau kita melepaskan segala sesuatu, maka kita memiliki Kristus. Dalam hal ini, kita tidak bisa setengah-setengah. Kita harus berani masuk ke wilayah asing, wilayah yang sangat berbeda dengan wilayah yang selama ini kita jalani
Sehingga dengan sendirinya kita tidak tertarik lagi dengan dunia; bukan kita bermaksud mau tidak tertarik, namun cita rasa kita berubah. Kita tarik garis yang jelas, jangan abu-abu di mana kita bukan anggota dunia melainkan kita adalah anggota keluarga Kerajaan Allah. Kita mau pulang, dunia bukan rumah kita. Dan karena dunia bukan rumah kita, maka apa pun yang ada di dunia ini tidak boleh mengikat dan memberi harapan dan kesenangan. Kebahagiaan kita tidak boleh ditopang, diciptakan oleh apa pun yang ada di dunia. Kesenangan kita harus ditopang oleh kehadiran Tuhan saja. Di situ baru kita menjadi perawan suci.
Kita harus punya garis batas, jangan abu-abu karena kita adalah warga Kerajaan Surga. Paulus mengingatkan, kita memang masih di dunia, tapi kita tidak boleh hidup dengan cara anak dunia. Dan ingat, khususnya bagi para pendeta, kalau pendeta tidak menarik garis batas, dia tidak mungkin rohani, tidak bisa menginspirasi Kerajaan Allah kepada jemaat, dia juga tidak bisa mengentaskan jemaat dari hidup keduniawian. Kita memang belum di surga, tapi kita harus sudah hidup dalam habitat Kerajaan Allah. Yang karenanya Doa Bapa Kami berkata, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Artinya, kita sudah menghadirkan suasana Kerajaan Allah di dalam hidup hari ini.
Bukan sekadar ada nyanyian rohani di rumah, namun sukacita dan damai sejahtera kita tidak ditopang oleh perkara dunia. Kita dikunci untuk hidup bagi Allah sepenuhnya, mengarahkan diri ke Kerajaan Surga. Sekolah teologi tidak memindahkan habitat, semua diarahkan untuk menalar Tuhan. Hanya ketika orang duduk diam di kaki Tuhan, dia baru bisa dipindahkan. Kalau kita membayangkan suatu hari ada orang-orang masuk Kerajaan Surga karena hasil pelayanan kita, betapa itu membahagiakan. Sungguh, tidak ternilai harganya. Biar kita sendiri yang menjadi korban, seakan-akan kita disembelih di mezbah, tapi kita menjadi berkat bagi banyak orang. Kita sembelih daging, nafsu, dan semua keinginan duniawi kita, supaya kita bisa menjadi saluran hikmat dan marifat Tuhan, bisa membawa hadirat Tuhan setiap kali kita hadir.
Namun banyak orang lebih senang ke gereja yang bicara tentang berkat, janji kelimpahan, karena itu yang mereka butuhkan. Tapi ketika Tuhan membawa ke padang gurun, kita memandang Tuhan, dan mempertemukan kita dengan Sang Pemilik Kehidupan. Masalah kita di dunia ini bukan masalah besar, pasti bisa dilewati. Yang penting bisa dilewati tanpa target. Karena target kita itu berkenan di hadapan Tuhan. Kristen tidak bisa menjadi bagian hidup kita, Kristen harus seluruh hidup kita. Seberapa kita bisa senang dengan uang, harta, kedudukan? Semua itu nanti juga akan berakhir atau harus kita lepaskan. Maka, mengapa kita tidak mengarahkan diri untuk Kerajaan Surga? Kita mau berpesta rohani bersama Tuhan.
Tuhan itu hidup dan cerita Alkitab itu bukan dongeng, jejak-Nya nyata. Mengapa tidak kita jadikan Dia segalanya dalam hidup kita? Yang suatu hari, setiap kita akan berdiri di hadapan takhta pengadilan-Nya. Maka kalau sekarang kita mengurusi pekerjaan Tuhan, maka Tuhan mengurusi hidup kita. Kita harus berkemas-kemas, betul-betul jadi manusia rohani, hati kita harus terfokus ke Kerajaan Allah. Kita tarik garis batas, “Aku warga Kerajaan Surga. Aku bukan warga dunia, sebab di dunia aku hanya menumpang. Aku harus hidup tidak bercacat dari apa yang kupikirkan, kukatakan dan kulakukan.”