Saudaraku,
Penyembahan itu sebenarnya memiliki tingkatan atau dimensi. Waktu kita menjadi Kristen, kita menyanyikan lagu-lagu rohani dengan dimensi orang beragama—hal ini menyangkut kualitas hidup kita—dengan atmosfer orang beragama. Kita bisa menangisdan bisa menghayatinya juga. Agama lain juga memiliki dimensi ini; ada pujian, ada penyembahan bagi “Yang disembah.” Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika seseorang makin dewasa, maka dimensi penyembahannya meningkat.
Tetapi sebenarnya, tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mengalami peningkatan ini. Seiring dengan berjalannya waktu ketika seseorang menjadi lebih dewasa, kualitas penyembahannya meningkat; dan sebenarnya, itu seiring dengan bertumbuhnya kecintaan kepada Tuhan dan bertumbuhnya pengertian yang dia miliki mengenai kebenaran. Dimensi berikutnya adalah ketika dia lebih mencintai Tuhan, ketika dia makin tidak mengingini dunia.
Namun sejujurnya, kita tidak bisa mengukur, karena ini bukan nominal angka secara harafiah atau lahiriah. Tapi ada tingkatan-tingkatan sampai titik di mana kita bisa berkata kepada Tuhan, “Yang kuingini, Engkau saja.” Itulah penyembahan yang berkualitas. Ketika kita tidak menoleh ke belakang lagi sampai tidak dapat menoleh ke belakang, berarti hati kita telah dipindahkan ke Kerajaan Surga dan tidak ada sesuatu yang menarik lagi di dunia ini.
Dan itu bertumbuh seiring dengan kesucian hidup. Semakin suci, semakin tak bercacat tak bercela, semakin naik. Kalau kita sudah naik, karunia Roh juga akan diberikan. Maka kita harus meninggalkan percintaan dunia. Jangan ada yang menarik dari dunia ini, jangan ada yang kita harapkan dari dunia ini. Jangan berpikir kalau punya jodoh, punya anak atau cucu, punya rumah, punya penghasilan yang lebih besar, maka kita lebih bahagia.
Itu gejala kita berkhianat kepada Tuhan. Sejatinya, kita harus berkata, “Tidak ada yang kunantikan, selain Tuhan. Hanya Dia kebahagiaanku.” Di sini kita menyanjung Tuhan. Kalau kita masih menikmati dosa dalam bentuk batiniah—kesombongan, keangkuhan, dendam—dan kita mengecap sesuatu yang kita nikmati di dalam daging, maka roh kita mati. Paling tidak padam. Sebab, tidak mungkin oang yang hidup dalam dosa bisa meningkatkan dimensi kualitas penyembahannya. Dia bisa nyanyikan lagu-lagu rohani, dia masih bisa menangis dalam berdoa, tapi bukan dari roh, melainkan dari daging.
Di dalam pikiran kita dan daging kita ini, ada ada catatan dari apa yang kita peroleh selama puluhan tahun. Dan ini yang berbicara menjadi nyanyian hidup, gerak dan perilaku kita. Kita harus mengganti itu dengan gairah baru; kebenaran firman yang murni, kesediaan kita meninggalkan kesenangan-kesenangan itu. Supaya daging kita menjadi powerless, tidak berdaya. Dia selalu mau mendesak kita. Namun kita bisa memerintahkannya untuk diam. Selanjutnya, kita mengizinkan Tuhan berbicara dan menguasai hati kita. Skrip tulisan-tulisan yang baru kita tumbuhkan di dalam diri kita. Dalam berperilaku, kita menyesuaikannya dengan kehendak Allah. Itulah yang dimaksud, Allah bergerak di dalam kita. Jadi dimensi penyembahan kita tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita setiap hari.
Tinggalkan dosa. Tuhan tahu, kita adalah manusia. Tuhan tahu, kita membutuhkan makan, minum, rumah, tempat tinggal, mobil, keluarga yang sehat dan banyak hal lain.Dan Tuhan tidak egois. Tuhan tidak akan berkata, “Ayo, senangkan Aku. Yang penting Aku senang. Soal kamu senang atau tidak, nomor sekian.” Itu bukan Tuhan yang benar. Tapi Tuhan berkata, “Aku tidakbutuh apa-apa. Aku hanya ingin keadaanmu baik-baik.” Tuhan tidak mencari keuntungan apa-apa. Jangan anggap sepele, jangan hidup sembrono. Isi hidup kita untuk mencari Tuhan. Sampai tidak ada dunia lain dalam hidup kita. Dunia kita hanya satu, Tuhan dan Kerajaan-Nya. Kita mau menjadi komunitas yang benar-benar disisakan Tuhan untuk memindahkan hati di Kerajaan Surga dan kita berkemas-kemas.
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Tidak mungkin oang yang hidup dalam dosa
bisa meningkatkan dimensi kualitas penyembahannya.